Selasa, 15 September 2015

Revolusi Etika Pencinta Alam

Revolusi Etika Pencinta Alam

Oleh: Ostaf Al Mustafa

“Tidak pada Jika
Bukan dalam Andai”

Sekeping ungkapan itu, menandaskan bahwa Pencinta Alam mencintai Tuhan dan alam dengan sepenuh hati dan selimpah jiwa tanpa jika dan andai. Lalu bagaimana memahami Pencinta Alam pada suatu masa lalu dan kini dalam sebuah konteks ekspedisi yang pernah dilaksanakan KORPALA-UNHAS? Inilah sepasti pertanyaan dan jawabannya.

Pencinta Alam sebuah Frase Revolusioner
Tesaurus Bahasa Indonesia (2008) terbitan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan beberapa kata yang semirip petualang yakni pengembara, musafir, pelimbang, petandang, pengeliling, avonturir, penjelajah, perantau, pelancong, turis, dan wisatawan. Semua kata-kata benda tersebut cocok digunakan untuk keenam atlet EPA 2011, tergantung pada konteks maupun kesesuaian kalimat.

Petualangan merupakan kegiatan yang sudah lebih dulu ada sebelum frase ‘Pencinta Alam’. Petualangan bukan tentang kehebohan tingginya ombak hingga dua atau tiga meter maupun kerasnya terjangan bibit-bibit badai dalam EPA 2011. Tak ada yang heboh dalam peristiwa rutin alami. Badai dan ombak sudah menjadi khasanah sejati yang harus dilewati enam pelimbang laut Makassar tersebut. Siapapun penggiat alam terbuka, bebas disebut petualang atau penjelajah. Sebutan itu tak mencederai sikap etis dan moral sebagai Pencinta Alam.

Bila kata dalam bahasa Indonesia memiliki bobot ideologis, sebagaimana dalam bahasa Inggris, maka kemungkinan hanya sebutan penjelajah yang tak cocok disematkan pada mereka. Penjelajah berasal dari kata ‘jajah’ yang mendapatkan sisipan atau infiks ‘el’. Sisipan lainnya berupa afiks seperti –es-, -em-, -er-, -ah-, dan –in-, yang berkemungkinan merubah makna pada nomina atau juga tidak.

Petualangan bukan sebuah istilah khusus dalam Pencinta-Alam. Siapa saja bisa menggunakan kata itu secara otonom bila berkegiatan di alam luar ruang atau jagat terbuka. Berbagai tesaurus yang bersinonim dengan petualangan itu tak terkaburkan dalam kegiatan EPA 2011. Petualangan bukan bagian kecil dari lingkup ekspedisi maupun kualitas Pencinta Alam, tapi merupakan sinergi yang terbaurkan.

Tak perlu terpilah-pilah dalam pemilihan makna, hanya karena keragaman berkosa-kata. Ketika epik pelayaran ke Australia itu dituliskan, Pencinta Alam sudah melebur dengan sebutan apapun. Masihkan adakah yang ingin memisahkan rasa asin pada garam, ketika sedang berada di tengah gelombang? Seperti itulah permisalan bagi mereka yang tak setuju Pencinta Alam disebut petualang atau apapun sebutannya.

Penonjolan harus dilakukan ketika menuliskan kemelut yang mereka alami, tapi bukan membesar-besarkan secara hiperbolik. Apa yang mampu dituliskan, tidak sepenuhnya menggambarkan ketegangan psikologis yang mereka rawat di setiap arus. Penulisan literasi ini, berupaya untuk mengimajinasikan realitas petualangan laut, yang tak sembarang orang mampu melakukannya.

Tak ada proklamasi untuk mereka berenam sebagai petualangan, sebab C.C. Macknight secara khusus menyebut pelayaran orang Makassar sebagai the voyage, bahkan Paul Clark menyebut para pelaut itu sebagai seafarer. Orang yang melakukan voyage, disebut voyager. Sebutan Macassan, dalam teks bahasa Inggris terhadap orang Makassar hampir semuanya berkonotasi sebagai petualangan, meski makna itu seharusnya denotatif. Keenam atlet EPA adalah petualang, sebagaimana bila menerjemahkan voyager tersebut, bahkan lebih tinggi lagi ketika disebut sebagai seafarer.

The Sage’s English Dictionary and Thesaurus, sinonim voyage yakni sail dan navigate. Kamus yang sama menyebutkan pula hipernim yakni dari voyage berupa journey, travel, seafaring, danocean travel. Hiponim dari navigate yakni crossing, space travel, spacefaring, spaceflight, cruise, maiden voyage, sail, dan astrogate. Sinonim, hipernim, dan hiponim voyage didasarkan sebagai kata benda (noun) dan kata kerja (verb).

Memang ada juga yang beranggapan bahwa ekspedisi yang dilakukan KORPALA-UNHAS, harusnya tak disebut sebagai petualangan. Wajib disebut sebagai ekspedisi saja, titik! Asal mula kata ekspedisi berkaitan dengan pengangkutan barang. Mereka berenam tak melakukan pengangkutan barang, apakah itu melanggar penamaan sebagai ekspedisi?

Demikianlah setiap kata mengerut dan memuai, sesuai dingin dan panasnya konteks kalimat. Sebagaimana api tak selalu menunjukkan tentang sesuatu yang menghanguskan, tapi juga berarti spirit yang memanaskan energi. Ada juga ketidak-setujuan untuk menyebut nelayan Makassar sebagai penjelajah, karena misi mereka hanya untuk mencari teripang. Bila tak cocok kata itu untuk mereka, mengapa Berndt and Berndtm (1988) menyebut pelayaran orang Makassar sebagai ekspedisi?

Ekspedisi menurut merriam-webster.com adalah “a journey especially by a group of people for a specific purpose (such as to explore a distant place or to do research)”. Istilah ekspedisi baru dikenal pada abad ke-15. Intinya, sebutan ekspedisi yakni ada tujuan tertentu dan mengeksplorasi daerah yang jauh atau melakukan riset. Baik pelaut Makassar berabad-abad silam dan enam anggota KORPALA-UNHAS melakukan hal yang nyaris sama. Bahkan research (mencari kembali) juga cocok dengan apa yang dilakukan para pelaut Makassar, meski kini istilah itu dipersempit pada penelitian ilmiah.

Bila petualang disebut dalam berbagai penamaan, itu berarti secara bahasa telah terjadi hipernim dan hiponim. Hipernim adalah kata-kata yang memperantarai banyak kata lain. Hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Hiponim adalah kata-kata yang terjembatani artinya oleh kata hipernim. Umumnya kata-kata hipernim adalah suatu kategori dan hiponim merupakan anggota dari kata hipernim. Hal itu terjadi bila dilacak dari segi kata benda.

Ketika Awibowo sebagai orang pertama yang tercatat pertama kali menggunakan istilah Pencinta Alam. Ia menggunakan frase tersebut dalam konteks etis dan bukan mempermasalahkannya dengan sebutan lain berupa petualang, penjelajah, dan sebagainya. Pandangan etisnya yakni “Terima kasih, kalian telah ikut menyuburkan benih-benih cinta alam yang kami taburkan dahulu. Jangan hanya berpartisipasi, tetapi berikan dedikasi yang murni kepada alam!”


Revolusi Pertama Pentjinta Alam
Asal mula frase atau istilah Pencinta Alam itu disampaikan Norman Edwin (1955 - 1992) dalam artikel di majalah Mutiara, 20 Juni-3 Juli 1984. Dalam artikel itu Norman menulis, “Awibowo, Biang Pencinta Alam Indonesia”. Awibowo pertama kali menggunakannya secara resmi pada Ahad, 18 Oktober 1953. Awibowo mendirikan Perkumpulan Pentjinta Alam (PPA), ketika selesai pendidikannya di Universitas Indonesia di Bogor (sekarang IPB). Di tahun itu, Bahasa Indonesia memasuki zaman ejaan Republik atau ejaan Suwandi, karena dirinya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ejaan yang diresmikan pada hari Rabu, 19 Maret 1947, sudah diubah penulisan ‘oe’ menjadi ‘u’, namun untuk huruf yang dibaca ‘c’ ditulis dengan ‘tj’.

Sang biang ini, revolusioner dalam mengidekan gagasannya tentang suatu organisasi yang berisi sosok-sosok yang peduli alam. “Selesai revolusi, kami ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini. Itu kami wujudkan dengan mencintai alamnya," Tegas Awibowo yang sudah berusia hampir 80 tahun, ketika ditemui Norman. Bila saja ia mengemukakan pemikirannya secara tertulis pada masa-masa kehidupannya di kampus, maka Awibowo jauh lebih revolusioner dari Soe Hok Gie. Ia revolusioner pertama dalam kecintaan pada alam.

Hingga akhirnya PPA bubar pada tahun 1950-an, maupun ketika Awibowo memasuki usia senja, ia sama sekali tak terusik oleh perbedaan semantik antara Pencinta Alam dengan petualangan maupun kata-kata sejenisnya. Jika ‘Biang Pentjinta Alam’ tak mempermasalahkan, lalu kenapa orang-orang belakangan menjadikannya sebagai debat di atas dokar antara para kusir?

Awibowo kembali menunjukkan dirinya sebagai seorang yang matang dalam ‘kepentjinta-alaman’ terutama ketika ia membahas tentang apa yang sebenarnya yang patut dicintai. “Bila ingin hidup senang sehari, makanlah. Bila ingin hidup senang sebulan, menikahlah. Tapi, bila ingin hidup sejahtera selamanya….buatlah taman!” Apakah taman yang ia maksud adalah makna denotatif atau konotatif, masih tetap berhubungan dengan kecintaan pada alam? Tentu saja bila tak mampu membuat taman, maka cintailah taman yang paling luas di semesta itu dalam bentuk gunung, gua, tebing, lembah, hutan, dan rimba. Lalu kolam pada taman itu terwakili pada sungai, telaga, rawa, dan laut.

Demikian juga ketika PPA sudah mulai hilang, muncullah Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi (IPAM) yang didirikan pada Rabu, 19 Agustus 1964 di puncak gunung Pangrango (3019 mdpl). Mandalawangi merupakan nama puncak gunung Pangrango. Mereka yang membentuk IPAM tak mewariskan teks apapun yang mengklasifikasi antara Pencinta Alam dengan petualangan.

Revolusi Kedua Pencinta Alam
Gagasan revolusi yang digagas Awibowo dalam Pentjinta Alam, kemudian berlanjut pada Soe Hok Gie (1942 – 1969). Ia  kemudian makin mempopulerkan frase Pencinta Alam. Gagasan keberadaan Pencinta Alam sebagai suatu nama, muncul kembali pada pada Ahad sore, 8 November 1964, saat kerja bakti di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Gagasan yang lahir di kuburan ini, kemudian berlanjut pada pertemuan kedua  di Unit III bawah gedung Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) Rawamangun, di depan ruang perpustakaan.

Saat itu Herman O. Lantang yang menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Nama baru tersebut yakni IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Nama ini bukan berasal dari Drs. Moendardjito kelahiran Bogor, Selasa, 8 Oktober 1936. Sosok yang akrab dengan panggilan ‘Pak Okti’, kemudian dikenal sebagai Prof. DR. Moendardjito, arkeolog UI ternama. Nama Impala, kemudian tidak disetujui Drs. Bambang Soemadio, PD III FSUI, bidang Mahalum (Mahasiswa dan Alumni). Nama itu dianggap borjuis, sehingga bisa menimbulkan resistensi dari mahasiswa yang kontra-penguasa.

Ide tentang IMPALA berhenti dalam alur sebuah sejarah, bukan hanya karena penolakan Bambang, tapi juga sebuah sikap kritis terhadap kondisi Indonesia.  Impala pada masa itu merupakan mobil Chevy/Chevrolet yang mewah masa itu. Kemewahan Impala adalah bagian dari lakon buruk petinggi negara Impala.

Nama IMPALA menghilang, kemudian diubah menjadi Mapala Prajnaparamita. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam dan Prajnaparamita berarti Dewi Pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah, dalam bahasa Sanskerta. Istilah Mapala ini yang kemudian semakin mempopulerkan Pencinta Alam di tengah kehidupan kampus yang makin kritis.

Bila masih ada masih meributkan petualangan, penjelajahan, pengembaraan dan sebutan sejenis lainnya dengan Pencinta Alam, itu berarti lalai membaca sejarah etis dari mereka yang pernah menggunakannya pertama kali. Lebih bermasalah lagi bila petualangan dianggap bagian kecil dari Pencinta Alam, karena seperti memfragmentasikan antara garam dan rasa asin.

Rasa asin dari Pencinta Alam adalah petualangan, pengarungan, dan pengembaraan, entah karena berkeringat atau memang berada di atas permadani gelombang melintasi lautan. Hanya satu yang mungkin tak cocok bila keenam petandang lautan ini disebut sebagai pengarung lautan. Pasti akan ada yang bertanya, “Memangnya isi laut bisa dimasukkan dalam karung?”

Pentjinta Alam versi Awibowo
Awibowo sendiri mengatakan tentang alasan mengapa ia memilih ‘Pentjinta Alam’. “Kami ramai berdiskusi soal istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu,” cerita Awibowo. Ada yang mengusulkan untuk memakai istilah “Penggemar Alam” atau “Pesuka Alam”. Kedua istilah itu, disanggah oleh Awibowo. “Tapi saya mengusulkan istilah “Pentjinta Alam”, karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka,” tutur Awibowo melanjutkan cerita kepada Norman.

Menurut Awibowo, gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka, tetapi cinta mengandung makna mengabdi. “Bukankah kita dituntut untuk mengabdi pada negeri ini?” Tanya Awibowo memberi penegasan pada Norman, kala itu. Istilah Pentjinta Alam, terasa aneh saat itu, karena cinta masih seidentik dengan urusan asmara. Namun Awibowo tak peduli.

Ketidak-pedulian Awibowo, akhirnya justru menjadi puncak kepeduliaannya pada Indonesia, karena ia menekankan sebuah sikap etis yang harus dilakoni pada setiap warga Negara yakni mengabdi pada negeri ini. Bukan hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang patut disebut ‘Abdi Negara’ sebagaimana emblem yang terbaca di pakaian dinas harian. Siapapun harus dan wajib mengabdikan diri untuk bangsa dan negeri, apalagi bila telah menyematkan diri dalam sebutan sebagai Pentjinta Alam.

Tujuan pendirian PPA adalah “Memperluas serta mempertinggi rasa tjinta terhadap alam seisinja dalam kalangan anggauta-anggautanja dan masjarakat oemoemnja.” PPA waktu itu merupakan kelompok hobi. Anggaran dasar PPA menyebutkan, “PPA (Perkumpulan Pentjinta Alam) adalah perkumpulan kesukaan (hobby).” “Hobby diartikan suatu kesukaan jang positif serta sutji, lepas dan sutji dari “sifat maniak” jang semata-mata melepaskan nafsunya dalam tjorak negatief.”

Mengabdi pada bangsa dan negeri ini, bisa dilakukan oleh siapapun yang mengemari dan menyukai olahraga alam bebas, apalagi jika bergiat dengan niat berupa cinta. Dengan demikian, masalahnya bukan ketika menggunakan istilah petualangan, pengarung, dan pengembara. Perihal yang krusial yakni apakah keenam atlet EPA 2011 melakukan pengembaraan lautan atas nama cinta dan mengabdi bangsa?

Bila itu tentang cinta, apakah ada yang lebih romantis daripada warna ‘biru langit’ sebagaimana nama yang tertulis pada lambung sandeq? Tentang pengabdian pada bangsa, harus dipertanyakan mengapa pihak Pemda Tingkat II Mandar yang lebih terkagum-kagum ketika orang Jepang dan orang Barat mempopulerkan sandeq untuk kepentingan pameran belaka di luar negeri?

Mengapa ketika sandeq dilayarkan oleh sesama bangsa sendiri, justru kalangan pemerintah tak memberikan apresiasi khusus? Memang hal seperti itu sama sekali tak pernah menjadi bersitan keinginan KORPALA-UNHAS untuk dipuji-puji oleh aparat pemerintah. Jika berkaitan pada kecintaan pada bangsa dan negeri ini, mengapa justru pemerintah setempat tidak melaksanakan kegiatan khusus untuk sandeq? Kegiatan yang sepenuhnya memang dipikirkan sendiri oleh para birokrat tersebut?

Pencinta Alam tanpa Huruf ‘n’

Soe Hok Gie Gie, Herman O. Lantang, Moendardjito, hingga Bambang Soemadio, tidak mengemas keberadaan Pencinta Alam dengan membenturkannya dengan petualangan. Khusus untuk Gie, Pencinta Alam merupakan sebuah alur idealismenya dalam memegang prinsip sebagai mahasiswa yang kritis pada kondisi negara. Pencinta alam, merupakan suatu sikap etis terutama ketika ia menuliskan tentang alasan “Untuk apa mendaki gunung.”

Tak ada filosofi bahasa yang patut didapatkan, bila masih ada yang mempersusah diri membedakan ‘Pencinta Alam’ dengan ‘Pecinta Alam’, hanya karena hilangnya huruf ‘n’. Bila pencinta dan pecinta menjadi pilihan kata ketika membuat puisi asmara, maka apakah ketiadaan dan adanya huruf ‘n’, bisakah merubah gula merah terasa seperti coklat?

Ketika Norman Edwin memulai kepeloporan ekspedisi besar yang dipanitiai oleh internal mahasiswa, sosok legendaris berambut lebat itu, tak mempersulit diri untuk membedakan istilah petualangan dan Pencinta Alam. Kegiatan penjelajahan alam pada tahun 1980-an banyak terpublikasikan di sejumlah majalah dan surat kabar, hal itu karena tingginya produktifitas Norman dalam menulis. Norman menulis diantaranya dalam majalah Mutiara dan harian Kompas. Ia memang wartawan Kompas.

Norman, salah seorang pelopor terkemuka dalam ekspedisi besar ke beberapa gunung ternama dan tertinggi dunia. Ketika kemudian ia meninggal dunia di dalam salah satu ekspedisi di   pertengahan Maret 1992 saat mendakI Gunung Aconcagua (6959 mdpl) bersama rekannya Didiek Samsu Wahyu Triachdi, ia dikenang sebagai beruang gunung, petualang, jurnalis alam bebas, Pencinta Alam, dan banyak lagi sebutan tersohor untuknya. Norman telah mendapat tempat paling terhormat di hati para Pencinta Alam. Tak sembarang orang, bisa melepas hidup pada tempat yang paling ingin dipijaknya.

Norman yang berhasil merubah Mapala UI menuju suatu organisasi pencinta alam yang berkemampuan tinggi dalam hal ekspedisi lintas negara. Apakah Mapala UI masih berdebat dalam kata-kata yang tak berkesudahan, dalam menjelaskan ekspedisi itu? Ternyata tidak! Ketika mapala lain dari sejumlah universitas masih menguras otak hanya memperdebatkan hal-hal semantik, tapak-tapak sepatu Mapala UI sudah menanjak di ujung-ujung kecil vertikal bumi.

Norman Edwin dan tentu saja Mapala UI sudah menancapkan bendera organisasi di lingkar beberapa sentimeter di atas puncak-puncak gunung, ketika masih ada yang berdebat kosong tentang apakah Pencinta Alam itu petualang atau penjelajah? Norman Edwin dijuluki sebagai beruang gunung. Apakah julukan itu masih ada juga yang masih memperdebatkanya sebagai suatu hal yang berbeda dengan Pencinta Alam?

Julukan Norman menginspirasi pula sejumlah organisasi mapala, dengan menyebut anggota-anggota baru mereka dengan sebutan binatang. Kucing hitam hingga banteng liar, menjadi pilihan. Hanya beberapa sebutan nama yang belum pernah resmi terpakai yakni ‘buaya darat’, ‘kambing hitam’, hingga ‘musang berbulu ayam’.

Revolusi Etis dan Revolusi Etika
Ketika KORPALA-UNHAS menjadi tuan rumah TWKM (Temu Wicara Kenal Medan) V  tahun 1992, nilai-nilai etis Pencinta Alam kembali dibahasakan, tanpa memisah-misahkan penamaan itu dengan sebutan sebagai petualangan dan sejenisnya. Saat itu salah seorang senior pendiri KORPALA-UNHAS yakni Nevy James Tonggiroh, mengemukakan pandanganya tentang apa itu yang disebut ‘alam bebas’.

Dalam berbagai pembicaraan, kegiatan luar ruang atau alam terbuka itu, kadang-kadang disebut pula sebagai aktivitas alam bebas. Nevy memberikan makna yakni, “Alam bebas bukanlah tempat berkegiatan, tapi berada dalam pikiran! Dengan demikian bisa saja Pencinta Alam yang berwawasan sempit tak bebas di alam terbuka. Namun ada yang tak menyebut diri sebagai Pencinta Alam, justru terbebaskan pikirannya di alam terbuka karena wawasannya.”

Makna tentang ‘alam bebas’ mungkin tak banyak lagi mengingatnya, meski TWKM itu telah berlalu di seluruh kalender di 22 tahun silam. Nevy menekankan bahwa di alam bebas, selalu terdapat nilai etis, yang tak bisa tertolak oleh pikiran dangkal. Pemilik nomor keanggotan K.100 85 026 tersebut, telah mengundurkan diri dari KORPALA-UNHAS, tapi penjelasannya tentang arti Pencinta Alam, tetap menjadi bagian dari kemajuan organisasi tersebut.

Sampai sekarang, belum ada kesepakatan tentang bagaimana mengartikan Pencinta Alam ke dalam bahasa Inggris. Sebuah arti yang sekaligus bisa memasukkan nilai etis dan revolusioner yang digagas Awibowo dan Soe Hok Gie. Horst Liebner, ketika membuat laporan ilmiah tentang sandeq, sehubungan dengan EPA 1996, mengartikan Korps Pencinta Alam sebagai Corps of the Friends of Nature. Tidak ada masalah bila menyatakan Pencinta Alam sebagai Friends of Nature.

Bila ada yang mengartikan Pencinta Alam sebagai nature lover, tentu saja tak tepat. Frase nature lover yang ditulis oleh ahli lingkungan hidup dan aktivis lingkungan, tidaklah seperti sejarah keberadaan Pencinta Alam. Dalam The Ecocritism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996), terdapat istilah yang disebut oleh Krutch sebagai “contemptous epithet nature lover”, sebagaimana otobiografinya More Lives Than One.

Buku yang dieditori oleh Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm itu, menyatakan ‘nature lover’  dalam kaitan dengan pertumbuhan kesadaran terhadap hubungan umat manusia dengan dunia non-manusia. Dalam segi makna, sangat cocok dengan nilai etis Pencinta Alam terhadap alam dan lingkungan.

Adventure dalam Ilmu Ekonomi

Adventure bukan hanya dipakai untuk istilah yang berkaitan dengan dunia petualangan di alam liar. Bahkan istilah itu juga masuk dalam dunia ekonomi. Jean-Baptiste Say (1767-1832) pendukung dari Laissez-faire, yang merupakan frase yang berarti ‘biarkan terjadi’, ‘biarkan lewat’ atau ‘biarkan berbuat’. Istilah itu dipergunakan kalangan psikorat (pemerintahan alam) yang mendukung ekonomi berbasis pertanian untuk melawan intervensi pemerintah dalam perdagangan.

Peran pemerintah diharuskan tak perlu ada untuk kesejahteraan rakyat, pemerataan distribusi pendapatan, pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Prinsip kapitalis ini bukanlah doktrin tertentu yang dianut olseh sebuah negara, tergantung sekuat apa para pemilik modal berkuasa atas pemerintah, aparat keamanan dan para politisi.

Dalam hal permintaan dan penawaran, bagi Say harus selalu seimbang yakni permintaan akan menciptakan dan sekaligus mencerminkan penawaran itu sendiri. Dengan demikian, hanya ketersediaan barang yang menentukan kegiatan perdagangan, bukan uang. Dalam permintaan dan penawaran, interaksi produsen dan konsumen pada barang, bukan pada uang. Bukan “ada uang ada barang”, tapi “ada barang ada uang”.

Meski diusung adanya persamaan hak warga negara untuk mendapatkan keuntungan dari hasil usaha mereka, tapi selalu ada yang mendapatkan hak istimewa dari negara. Keistimewaan itu harus berbayar dan ada registrasinya. Sebelum Barat, mengedepankan kepemilikan uang dan barang sebagai kapital, maka agama Kristen Katholik sudah memakai uang untuk penebus dosa. Pada mereka yang masih beriman Kristen atau tidak, kedua pihak percaya bahwa uang merupakan penentu dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan terbesar bukan karena memerintah sebuah alur birokrasi, tapi menguasai sumber alam dan daya yang bisa menjadi uang.

Say dalam A Treatise on Political Economy (1880), menjelaskan tentang produksi, distribusi, dan konsumsi.  Dalam hal produksi, ia mengambil pandangan Aristoteles tentang produsi alami dan artifisial. Produksi alami biasanya hanya untuk lingkup keluarga atau lingkaran kerabat saja. Di luar dari lingkup kecil itu, bila ada produksi maka disebut artifisial.

Pada halaman 41, Say memperkenalkan istilah entrepreneur yang dalam bahasa Inggris seidentik dengan undertaker  yang berarti penjaga kuburan atau pengurus pemakaman (Hal. 41). Istilah ini secara terbatas berkaitan dengan master manufaktur dalam pabrik, petani di pertanian, dan saudagar dalam perdagangan. Dalam ketiga hal tersebut, maka ada orang yang mampu bertanggung-jawab, menerima resiko, melakukan upaya permodalan yang berkaitan dengan industri , apakah itu berasal dari miliknya atau pinjaman.

Kata yang lebih tepat untuk penerjemahan entrepreneur dalam bahasa Inggris yakni adventurer. Untuk itulah, buku yang diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh C.R. Prinsep M.A dan Clement C. Biddle LL.D, ketika menyebut entrepeneur diartikan sebagai adventurer, sebagaimana dalam edisi kelima (April 1832) dan keenam (Desember 1834).

Dalam film cowboy, biasanya diperlihatkan di depan gerai undertaker terlihat ada jejeran peti mayat yang dijejer. Kelihatannya seram juga bila entrepreneur ternyata secara denotasi berkaitan dengan urusan kematian, keburaman, kesedihan, dan kesuraman. Undertaker dalam bahasa Inggris diartikan sebagai one whose business is the management of funeral (orang yang bisnisnya mengurus pemakaman). Betapa jauh wilayah pemakaian kata adventure atau adventurer, ketika dipakai sebagai penerjemahan dari entrepreneur.

Jadi bukan masalah bila Pencinta Alam disebut petualang atau penjelajah maupun kata apapun yang sejenis, asal bukan sebagai conquer (penakluk), karena bertentangan dengan revolusi etis atau revolusi etika yang harus terdepan dalam prilaku Pencinta Alam.

Ostaf al Mustafa anggota KORPALA-UNHAS










Tidak ada komentar:

Posting Komentar