Revolusi Etika Pencinta Alam
Oleh: Ostaf Al
Mustafa
“Tidak pada Jika
Bukan dalam Andai”
Sekeping
ungkapan itu, menandaskan bahwa Pencinta Alam mencintai Tuhan dan alam dengan
sepenuh hati dan selimpah jiwa tanpa jika dan andai. Lalu bagaimana memahami Pencinta
Alam pada suatu masa lalu dan kini dalam sebuah konteks ekspedisi yang pernah
dilaksanakan KORPALA-UNHAS? Inilah sepasti pertanyaan dan jawabannya.
Pencinta Alam sebuah Frase Revolusioner
Tesaurus Bahasa
Indonesia (2008) terbitan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan beberapa
kata yang semirip petualang yakni pengembara, musafir, pelimbang, petandang,
pengeliling, avonturir, penjelajah, perantau, pelancong, turis, dan wisatawan.
Semua kata-kata benda tersebut cocok digunakan untuk keenam atlet EPA 2011,
tergantung pada konteks maupun kesesuaian kalimat.
Petualangan
merupakan kegiatan yang sudah lebih dulu ada sebelum frase ‘Pencinta Alam’.
Petualangan bukan tentang kehebohan tingginya ombak hingga dua atau tiga meter
maupun kerasnya terjangan bibit-bibit badai dalam EPA 2011. Tak ada yang heboh
dalam peristiwa rutin alami. Badai dan ombak sudah menjadi khasanah sejati yang
harus dilewati enam pelimbang laut Makassar tersebut. Siapapun penggiat alam
terbuka, bebas disebut petualang atau penjelajah. Sebutan itu tak mencederai
sikap etis dan moral sebagai Pencinta Alam.
Bila kata dalam
bahasa Indonesia memiliki bobot ideologis, sebagaimana dalam bahasa Inggris,
maka kemungkinan hanya sebutan penjelajah yang tak cocok disematkan pada
mereka. Penjelajah berasal dari kata ‘jajah’ yang mendapatkan sisipan atau
infiks ‘el’. Sisipan lainnya berupa afiks seperti –es-, -em-, -er-, -ah-, dan
–in-, yang berkemungkinan merubah makna pada nomina atau juga tidak.
Petualangan
bukan sebuah istilah khusus dalam Pencinta-Alam. Siapa saja bisa menggunakan
kata itu secara otonom bila berkegiatan di alam luar ruang atau jagat terbuka.
Berbagai tesaurus yang bersinonim dengan petualangan itu tak terkaburkan dalam
kegiatan EPA 2011. Petualangan bukan bagian kecil dari lingkup ekspedisi maupun
kualitas Pencinta Alam, tapi merupakan sinergi yang terbaurkan.
Tak perlu
terpilah-pilah dalam pemilihan makna, hanya karena keragaman berkosa-kata.
Ketika epik pelayaran ke Australia itu dituliskan, Pencinta Alam sudah melebur
dengan sebutan apapun. Masihkan adakah yang ingin memisahkan rasa asin pada
garam, ketika sedang berada di tengah gelombang? Seperti itulah permisalan bagi
mereka yang tak setuju Pencinta Alam disebut petualang atau apapun sebutannya.
Penonjolan harus
dilakukan ketika menuliskan kemelut yang mereka alami, tapi bukan
membesar-besarkan secara hiperbolik. Apa yang mampu dituliskan, tidak
sepenuhnya menggambarkan ketegangan psikologis yang mereka rawat di setiap
arus. Penulisan literasi ini, berupaya untuk mengimajinasikan realitas
petualangan laut, yang tak sembarang orang mampu melakukannya.
Tak ada
proklamasi untuk mereka berenam sebagai petualangan, sebab C.C. Macknight
secara khusus menyebut pelayaran orang Makassar sebagai the voyage, bahkan Paul
Clark menyebut para pelaut itu sebagai seafarer. Orang yang melakukan voyage,
disebut voyager. Sebutan Macassan, dalam teks bahasa Inggris terhadap orang
Makassar hampir semuanya berkonotasi sebagai petualangan, meski makna itu
seharusnya denotatif. Keenam atlet EPA adalah petualang, sebagaimana bila
menerjemahkan voyager tersebut, bahkan lebih tinggi lagi ketika disebut sebagai
seafarer.
The Sage’s English Dictionary and Thesaurus, sinonim voyage yakni sail dan
navigate. Kamus yang sama menyebutkan
pula hipernim yakni dari voyage
berupa journey, travel, seafaring, danocean travel. Hiponim dari navigate
yakni crossing, space travel, spacefaring, spaceflight, cruise, maiden voyage,
sail, dan astrogate. Sinonim, hipernim, dan hiponim voyage didasarkan sebagai
kata benda (noun) dan kata kerja (verb).
Memang ada juga
yang beranggapan bahwa ekspedisi yang dilakukan KORPALA-UNHAS, harusnya tak
disebut sebagai petualangan. Wajib disebut sebagai ekspedisi saja, titik! Asal
mula kata ekspedisi berkaitan dengan pengangkutan barang. Mereka berenam tak
melakukan pengangkutan barang, apakah itu melanggar penamaan sebagai ekspedisi?
Demikianlah
setiap kata mengerut dan memuai, sesuai dingin dan panasnya konteks kalimat.
Sebagaimana api tak selalu menunjukkan tentang sesuatu yang menghanguskan, tapi
juga berarti spirit yang memanaskan energi. Ada juga ketidak-setujuan untuk
menyebut nelayan Makassar sebagai penjelajah, karena misi mereka hanya untuk
mencari teripang. Bila tak cocok kata itu untuk mereka, mengapa Berndt and
Berndtm (1988) menyebut pelayaran orang Makassar sebagai ekspedisi?
Ekspedisi
menurut merriam-webster.com adalah “a journey especially by a group of people
for a specific purpose (such as to explore a distant place or to do research)”.
Istilah ekspedisi baru dikenal pada abad ke-15. Intinya, sebutan ekspedisi
yakni ada tujuan tertentu dan mengeksplorasi daerah yang jauh atau melakukan
riset. Baik pelaut Makassar berabad-abad silam dan enam anggota KORPALA-UNHAS
melakukan hal yang nyaris sama. Bahkan research
(mencari kembali) juga cocok dengan apa yang dilakukan para pelaut Makassar,
meski kini istilah itu dipersempit pada penelitian ilmiah.
Bila petualang
disebut dalam berbagai penamaan, itu berarti secara bahasa telah terjadi
hipernim dan hiponim. Hipernim adalah kata-kata yang memperantarai banyak kata
lain. Hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya.
Hiponim adalah kata-kata yang terjembatani artinya oleh kata hipernim. Umumnya
kata-kata hipernim adalah suatu kategori dan hiponim merupakan anggota dari
kata hipernim. Hal itu terjadi bila dilacak dari segi kata benda.
Ketika Awibowo
sebagai orang pertama yang tercatat pertama kali menggunakan istilah Pencinta
Alam. Ia menggunakan frase tersebut dalam konteks etis dan bukan
mempermasalahkannya dengan sebutan lain berupa petualang, penjelajah, dan
sebagainya. Pandangan etisnya yakni “Terima kasih, kalian telah ikut
menyuburkan benih-benih cinta alam yang kami taburkan dahulu. Jangan hanya
berpartisipasi, tetapi berikan dedikasi yang murni kepada alam!”
Revolusi Pertama Pentjinta Alam
Asal mula frase
atau istilah Pencinta Alam itu disampaikan Norman Edwin (1955 - 1992) dalam
artikel di majalah Mutiara, 20 Juni-3 Juli 1984. Dalam artikel itu Norman
menulis, “Awibowo, Biang Pencinta Alam Indonesia”. Awibowo pertama kali
menggunakannya secara resmi pada Ahad, 18 Oktober 1953. Awibowo mendirikan
Perkumpulan Pentjinta Alam (PPA), ketika selesai pendidikannya di Universitas
Indonesia di Bogor (sekarang IPB). Di tahun itu, Bahasa Indonesia memasuki zaman
ejaan Republik atau ejaan Suwandi, karena dirinya Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Ejaan yang diresmikan pada hari Rabu, 19 Maret 1947, sudah diubah
penulisan ‘oe’ menjadi ‘u’, namun untuk huruf yang dibaca ‘c’ ditulis dengan
‘tj’.
Sang biang ini,
revolusioner dalam mengidekan gagasannya tentang suatu organisasi yang berisi
sosok-sosok yang peduli alam. “Selesai revolusi, kami ingin mengisi kemerdekaan
dengan kecintaan terhadap negeri ini. Itu kami wujudkan dengan mencintai
alamnya," Tegas Awibowo yang sudah berusia hampir 80 tahun, ketika ditemui
Norman. Bila saja ia mengemukakan pemikirannya secara tertulis pada masa-masa
kehidupannya di kampus, maka Awibowo jauh lebih revolusioner dari Soe Hok Gie.
Ia revolusioner pertama dalam kecintaan pada alam.
Hingga akhirnya
PPA bubar pada tahun 1950-an, maupun ketika Awibowo memasuki usia senja, ia
sama sekali tak terusik oleh perbedaan semantik antara Pencinta Alam dengan
petualangan maupun kata-kata sejenisnya. Jika ‘Biang Pentjinta Alam’ tak
mempermasalahkan, lalu kenapa orang-orang belakangan menjadikannya sebagai
debat di atas dokar antara para kusir?
Awibowo kembali
menunjukkan dirinya sebagai seorang yang matang dalam ‘kepentjinta-alaman’
terutama ketika ia membahas tentang apa yang sebenarnya yang patut dicintai.
“Bila ingin hidup senang sehari, makanlah. Bila ingin hidup senang sebulan,
menikahlah. Tapi, bila ingin hidup sejahtera selamanya….buatlah taman!” Apakah
taman yang ia maksud adalah makna denotatif atau konotatif, masih tetap
berhubungan dengan kecintaan pada alam? Tentu saja bila tak mampu membuat
taman, maka cintailah taman yang paling luas di semesta itu dalam bentuk
gunung, gua, tebing, lembah, hutan, dan rimba. Lalu kolam pada taman itu
terwakili pada sungai, telaga, rawa, dan laut.
Demikian juga
ketika PPA sudah mulai hilang, muncullah Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi
(IPAM) yang didirikan pada Rabu, 19 Agustus 1964 di puncak gunung Pangrango
(3019 mdpl). Mandalawangi merupakan nama puncak gunung Pangrango. Mereka yang
membentuk IPAM tak mewariskan teks apapun yang mengklasifikasi antara Pencinta
Alam dengan petualangan.
Revolusi Kedua Pencinta Alam
Gagasan revolusi
yang digagas Awibowo dalam Pentjinta Alam, kemudian berlanjut pada Soe Hok Gie
(1942 – 1969). Ia kemudian makin mempopulerkan
frase Pencinta Alam. Gagasan keberadaan Pencinta Alam sebagai suatu nama,
muncul kembali pada pada Ahad sore, 8 November 1964, saat kerja bakti di Taman
Makam Pahlawan Kalibata. Gagasan yang lahir di kuburan ini, kemudian berlanjut
pada pertemuan kedua di Unit III bawah
gedung Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) Rawamangun, di depan ruang
perpustakaan.
Saat itu Herman
O. Lantang yang menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Nama baru tersebut
yakni IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Nama ini bukan
berasal dari Drs. Moendardjito kelahiran Bogor, Selasa, 8 Oktober 1936. Sosok
yang akrab dengan panggilan ‘Pak Okti’, kemudian dikenal sebagai Prof. DR.
Moendardjito, arkeolog UI ternama. Nama Impala, kemudian tidak disetujui Drs.
Bambang Soemadio, PD III FSUI, bidang Mahalum (Mahasiswa dan Alumni). Nama itu
dianggap borjuis, sehingga bisa menimbulkan resistensi dari mahasiswa yang
kontra-penguasa.
Ide tentang
IMPALA berhenti dalam alur sebuah sejarah, bukan hanya karena penolakan
Bambang, tapi juga sebuah sikap kritis terhadap kondisi Indonesia. Impala pada masa itu merupakan mobil
Chevy/Chevrolet yang mewah masa itu. Kemewahan Impala adalah bagian dari lakon
buruk petinggi negara Impala.
Nama IMPALA
menghilang, kemudian diubah menjadi Mapala Prajnaparamita. Mapala merupakan
singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam dan Prajnaparamita berarti Dewi
Pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah, dalam bahasa Sanskerta.
Istilah Mapala ini yang kemudian semakin mempopulerkan Pencinta Alam di tengah
kehidupan kampus yang makin kritis.
Bila masih ada
masih meributkan petualangan, penjelajahan, pengembaraan dan sebutan sejenis
lainnya dengan Pencinta Alam, itu berarti lalai membaca sejarah etis dari
mereka yang pernah menggunakannya pertama kali. Lebih bermasalah lagi bila
petualangan dianggap bagian kecil dari Pencinta Alam, karena seperti
memfragmentasikan antara garam dan rasa asin.
Rasa asin dari
Pencinta Alam adalah petualangan, pengarungan, dan pengembaraan, entah karena
berkeringat atau memang berada di atas permadani gelombang melintasi lautan.
Hanya satu yang mungkin tak cocok bila keenam petandang lautan ini disebut
sebagai pengarung lautan. Pasti akan ada yang bertanya, “Memangnya isi laut
bisa dimasukkan dalam karung?”
Pentjinta Alam versi Awibowo
Awibowo sendiri
mengatakan tentang alasan mengapa ia memilih ‘Pentjinta Alam’. “Kami ramai
berdiskusi soal istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu,”
cerita Awibowo. Ada yang mengusulkan untuk memakai istilah “Penggemar Alam”
atau “Pesuka Alam”. Kedua istilah itu, disanggah oleh Awibowo. “Tapi saya
mengusulkan istilah “Pentjinta Alam”, karena cinta lebih dalam maknanya
daripada gemar atau suka,” tutur Awibowo melanjutkan cerita kepada Norman.
Menurut Awibowo,
gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka, tetapi cinta mengandung
makna mengabdi. “Bukankah kita dituntut untuk mengabdi pada negeri ini?” Tanya
Awibowo memberi penegasan pada Norman, kala itu. Istilah Pentjinta Alam, terasa
aneh saat itu, karena cinta masih seidentik dengan urusan asmara. Namun Awibowo
tak peduli.
Ketidak-pedulian
Awibowo, akhirnya justru menjadi puncak kepeduliaannya pada Indonesia, karena
ia menekankan sebuah sikap etis yang harus dilakoni pada setiap warga Negara
yakni mengabdi pada negeri ini. Bukan hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
patut disebut ‘Abdi Negara’ sebagaimana emblem yang terbaca di pakaian dinas
harian. Siapapun harus dan wajib mengabdikan diri untuk bangsa dan negeri,
apalagi bila telah menyematkan diri dalam sebutan sebagai Pentjinta Alam.
Tujuan pendirian
PPA adalah “Memperluas serta mempertinggi rasa tjinta terhadap alam seisinja
dalam kalangan anggauta-anggautanja dan masjarakat oemoemnja.” PPA waktu itu
merupakan kelompok hobi. Anggaran dasar PPA menyebutkan, “PPA (Perkumpulan
Pentjinta Alam) adalah perkumpulan kesukaan (hobby).” “Hobby diartikan suatu
kesukaan jang positif serta sutji, lepas dan sutji dari “sifat maniak” jang
semata-mata melepaskan nafsunya dalam tjorak negatief.”
Mengabdi pada
bangsa dan negeri ini, bisa dilakukan oleh siapapun yang mengemari dan menyukai
olahraga alam bebas, apalagi jika bergiat dengan niat berupa cinta. Dengan
demikian, masalahnya bukan ketika menggunakan istilah petualangan, pengarung,
dan pengembara. Perihal yang krusial yakni apakah keenam atlet EPA 2011
melakukan pengembaraan lautan atas nama cinta dan mengabdi bangsa?
Bila itu tentang
cinta, apakah ada yang lebih romantis daripada warna ‘biru langit’ sebagaimana
nama yang tertulis pada lambung sandeq? Tentang pengabdian pada bangsa, harus
dipertanyakan mengapa pihak Pemda Tingkat II Mandar yang lebih terkagum-kagum
ketika orang Jepang dan orang Barat mempopulerkan sandeq untuk kepentingan
pameran belaka di luar negeri?
Mengapa ketika
sandeq dilayarkan oleh sesama bangsa sendiri, justru kalangan pemerintah tak
memberikan apresiasi khusus? Memang hal seperti itu sama sekali tak pernah
menjadi bersitan keinginan KORPALA-UNHAS untuk dipuji-puji oleh aparat
pemerintah. Jika berkaitan pada kecintaan pada bangsa dan negeri ini, mengapa
justru pemerintah setempat tidak melaksanakan kegiatan khusus untuk sandeq?
Kegiatan yang sepenuhnya memang dipikirkan sendiri oleh para birokrat tersebut?
Pencinta Alam tanpa Huruf ‘n’
Soe Hok Gie Gie,
Herman O. Lantang, Moendardjito, hingga Bambang Soemadio, tidak mengemas
keberadaan Pencinta Alam dengan membenturkannya dengan petualangan. Khusus
untuk Gie, Pencinta Alam merupakan sebuah alur idealismenya dalam memegang
prinsip sebagai mahasiswa yang kritis pada kondisi negara. Pencinta alam,
merupakan suatu sikap etis terutama ketika ia menuliskan tentang alasan “Untuk
apa mendaki gunung.”
Tak ada filosofi
bahasa yang patut didapatkan, bila masih ada yang mempersusah diri membedakan
‘Pencinta Alam’ dengan ‘Pecinta Alam’, hanya karena hilangnya huruf ‘n’. Bila
pencinta dan pecinta menjadi pilihan kata ketika membuat puisi asmara, maka
apakah ketiadaan dan adanya huruf ‘n’, bisakah merubah gula merah terasa
seperti coklat?
Ketika Norman
Edwin memulai kepeloporan ekspedisi besar yang dipanitiai oleh internal
mahasiswa, sosok legendaris berambut lebat itu, tak mempersulit diri untuk
membedakan istilah petualangan dan Pencinta Alam. Kegiatan penjelajahan alam
pada tahun 1980-an banyak terpublikasikan di sejumlah majalah dan surat kabar, hal
itu karena tingginya produktifitas Norman dalam menulis. Norman menulis
diantaranya dalam majalah Mutiara dan harian Kompas. Ia memang wartawan Kompas.
Norman, salah
seorang pelopor terkemuka dalam ekspedisi besar ke beberapa gunung ternama dan
tertinggi dunia. Ketika kemudian ia meninggal dunia di dalam salah satu
ekspedisi di pertengahan Maret 1992
saat mendakI Gunung Aconcagua (6959 mdpl) bersama rekannya Didiek Samsu Wahyu
Triachdi, ia dikenang sebagai beruang gunung, petualang, jurnalis alam bebas,
Pencinta Alam, dan banyak lagi sebutan tersohor untuknya. Norman telah mendapat
tempat paling terhormat di hati para Pencinta Alam. Tak sembarang orang, bisa
melepas hidup pada tempat yang paling ingin dipijaknya.
Norman yang
berhasil merubah Mapala UI menuju suatu organisasi pencinta alam yang
berkemampuan tinggi dalam hal ekspedisi lintas negara. Apakah Mapala UI masih
berdebat dalam kata-kata yang tak berkesudahan, dalam menjelaskan ekspedisi
itu? Ternyata tidak! Ketika mapala lain dari sejumlah universitas masih
menguras otak hanya memperdebatkan hal-hal semantik, tapak-tapak sepatu Mapala
UI sudah menanjak di ujung-ujung kecil vertikal bumi.
Norman Edwin dan
tentu saja Mapala UI sudah menancapkan bendera organisasi di lingkar beberapa
sentimeter di atas puncak-puncak gunung, ketika masih ada yang berdebat kosong
tentang apakah Pencinta Alam itu petualang atau penjelajah? Norman Edwin
dijuluki sebagai beruang gunung. Apakah julukan itu masih ada juga yang masih
memperdebatkanya sebagai suatu hal yang berbeda dengan Pencinta Alam?
Julukan Norman
menginspirasi pula sejumlah organisasi mapala, dengan menyebut anggota-anggota
baru mereka dengan sebutan binatang. Kucing hitam hingga banteng liar, menjadi
pilihan. Hanya beberapa sebutan nama yang belum pernah resmi terpakai yakni
‘buaya darat’, ‘kambing hitam’, hingga ‘musang berbulu ayam’.
Revolusi Etis dan Revolusi Etika
Ketika
KORPALA-UNHAS menjadi tuan rumah TWKM (Temu Wicara Kenal Medan) V tahun 1992, nilai-nilai etis Pencinta Alam
kembali dibahasakan, tanpa memisah-misahkan penamaan itu dengan sebutan sebagai
petualangan dan sejenisnya. Saat itu salah seorang senior pendiri KORPALA-UNHAS
yakni Nevy James Tonggiroh, mengemukakan pandanganya tentang apa itu yang
disebut ‘alam bebas’.
Dalam berbagai
pembicaraan, kegiatan luar ruang atau alam terbuka itu, kadang-kadang disebut
pula sebagai aktivitas alam bebas. Nevy memberikan makna yakni, “Alam bebas
bukanlah tempat berkegiatan, tapi berada dalam pikiran! Dengan demikian bisa
saja Pencinta Alam yang berwawasan sempit tak bebas di alam terbuka. Namun ada
yang tak menyebut diri sebagai Pencinta Alam, justru terbebaskan pikirannya di
alam terbuka karena wawasannya.”
Makna tentang
‘alam bebas’ mungkin tak banyak lagi mengingatnya, meski TWKM itu telah berlalu
di seluruh kalender di 22 tahun silam. Nevy menekankan bahwa di alam bebas,
selalu terdapat nilai etis, yang tak bisa tertolak oleh pikiran dangkal.
Pemilik nomor keanggotan K.100 85 026 tersebut, telah mengundurkan diri dari
KORPALA-UNHAS, tapi penjelasannya tentang arti Pencinta Alam, tetap menjadi
bagian dari kemajuan organisasi tersebut.
Sampai sekarang,
belum ada kesepakatan tentang bagaimana mengartikan Pencinta Alam ke dalam
bahasa Inggris. Sebuah arti yang sekaligus bisa memasukkan nilai etis dan
revolusioner yang digagas Awibowo dan Soe Hok Gie. Horst Liebner, ketika
membuat laporan ilmiah tentang sandeq, sehubungan dengan EPA 1996, mengartikan
Korps Pencinta Alam sebagai Corps of the
Friends of Nature. Tidak ada masalah bila menyatakan Pencinta Alam sebagai Friends of Nature.
Bila ada yang
mengartikan Pencinta Alam sebagai nature
lover, tentu saja tak tepat. Frase nature
lover yang ditulis oleh ahli lingkungan hidup dan aktivis lingkungan, tidaklah
seperti sejarah keberadaan Pencinta Alam. Dalam The Ecocritism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996),
terdapat istilah yang disebut oleh Krutch sebagai “contemptous epithet nature lover”, sebagaimana otobiografinya More Lives Than One.
Buku yang
dieditori oleh Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm itu, menyatakan ‘nature lover’ dalam kaitan dengan pertumbuhan kesadaran
terhadap hubungan umat manusia dengan dunia non-manusia. Dalam segi makna,
sangat cocok dengan nilai etis Pencinta Alam terhadap alam dan lingkungan.
Adventure dalam Ilmu Ekonomi
Adventure bukan hanya
dipakai untuk istilah yang berkaitan dengan dunia petualangan di alam liar.
Bahkan istilah itu juga masuk dalam dunia ekonomi. Jean-Baptiste Say (1767-1832) pendukung dari Laissez-faire, yang merupakan frase yang
berarti ‘biarkan terjadi’, ‘biarkan lewat’ atau ‘biarkan berbuat’. Istilah itu
dipergunakan kalangan psikorat (pemerintahan alam) yang mendukung ekonomi
berbasis pertanian untuk melawan intervensi pemerintah dalam perdagangan.
Peran pemerintah diharuskan
tak perlu ada untuk kesejahteraan rakyat, pemerataan distribusi pendapatan,
pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Prinsip kapitalis ini bukanlah doktrin
tertentu yang dianut olseh sebuah negara, tergantung sekuat apa para pemilik
modal berkuasa atas pemerintah, aparat keamanan dan para politisi.
Dalam hal permintaan dan
penawaran, bagi Say harus selalu seimbang yakni permintaan akan menciptakan dan
sekaligus mencerminkan penawaran itu sendiri. Dengan demikian, hanya ketersediaan
barang yang menentukan kegiatan perdagangan, bukan uang. Dalam permintaan dan
penawaran, interaksi produsen dan konsumen pada barang, bukan pada uang. Bukan
“ada uang ada barang”, tapi “ada barang ada uang”.
Meski diusung adanya
persamaan hak warga negara untuk mendapatkan keuntungan dari hasil usaha
mereka, tapi selalu ada yang mendapatkan hak istimewa dari negara. Keistimewaan
itu harus berbayar dan ada registrasinya. Sebelum Barat, mengedepankan
kepemilikan uang dan barang sebagai kapital, maka agama Kristen Katholik sudah
memakai uang untuk penebus dosa. Pada mereka yang masih beriman Kristen atau
tidak, kedua pihak percaya bahwa uang merupakan penentu dari sebuah kekuasaan.
Kekuasaan terbesar bukan karena memerintah sebuah alur birokrasi, tapi menguasai
sumber alam dan daya yang bisa menjadi uang.
Say dalam A Treatise on Political Economy (1880),
menjelaskan tentang produksi, distribusi, dan konsumsi. Dalam hal produksi, ia mengambil pandangan
Aristoteles tentang produsi alami dan artifisial. Produksi alami biasanya hanya
untuk lingkup keluarga atau lingkaran kerabat saja. Di luar dari lingkup kecil
itu, bila ada produksi maka disebut artifisial.
Pada halaman 41, Say
memperkenalkan istilah entrepreneur yang
dalam bahasa Inggris seidentik dengan undertaker yang berarti penjaga kuburan atau pengurus
pemakaman (Hal. 41). Istilah ini secara terbatas berkaitan dengan master
manufaktur dalam pabrik, petani di pertanian, dan saudagar dalam perdagangan.
Dalam ketiga hal tersebut, maka ada orang yang mampu bertanggung-jawab,
menerima resiko, melakukan upaya permodalan yang berkaitan dengan industri ,
apakah itu berasal dari miliknya atau pinjaman.
Kata yang lebih tepat untuk
penerjemahan entrepreneur dalam
bahasa Inggris yakni adventurer.
Untuk itulah, buku yang diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh C.R. Prinsep M.A
dan Clement C. Biddle LL.D, ketika menyebut entrepeneur
diartikan sebagai adventurer, sebagaimana
dalam edisi kelima (April 1832) dan keenam (Desember 1834).
Dalam film cowboy, biasanya
diperlihatkan di depan gerai undertaker
terlihat ada jejeran peti mayat yang dijejer. Kelihatannya seram juga bila entrepreneur ternyata secara denotasi
berkaitan dengan urusan kematian, keburaman, kesedihan, dan kesuraman. Undertaker dalam bahasa Inggris diartikan
sebagai one whose business is the
management of funeral (orang yang bisnisnya mengurus pemakaman). Betapa
jauh wilayah pemakaian kata adventure
atau adventurer, ketika dipakai
sebagai penerjemahan dari entrepreneur.
Jadi bukan masalah bila
Pencinta Alam disebut petualang atau penjelajah maupun kata apapun yang
sejenis, asal bukan sebagai conquer (penakluk),
karena bertentangan dengan revolusi etis atau revolusi etika yang harus terdepan
dalam prilaku Pencinta Alam.
Ostaf al Mustafa anggota
KORPALA-UNHAS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar