Kamis, 17 September 2015

Lima Puluh Tahun Sejarah Mahasiswa Pencinta Alam

Lima Puluh Tahun Sejarah Mahasiswa Pencinta


Dua Revolusi Pencinta Alam

Di luar dari alur teks sejarah formal, di ujung tahun 2014, istilah Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) tepat di usia emas. Lima puluh tahun lalu[1], Soe Hok Gie[2] membentuk Mapala Pradjnaparamitha[3] Fakultas Sastra Universitas Indonesia, bersama lima mahasiswa lainnya[4]. Jejak kawan-kawan Gie tak terpetakan pergerakannya maupun ideologinya, sehingga susah memasuki perwatakan organisasi MPA itu secara total di luar dari Gie.

MPAitu  terbentuk pada 1964, dua tahun sebelum runtuhnya Demokrasi Terpimpin[5] dan jatuhnya kekuasaan Soekarno[6]. Sebelum muncul istilah Mahasiswa Pencinta Alam, sepuluh tahun sebelumnya Adiwibowo memperkenalkan istilah Pentjinta Alam. Kedua frase yang nyaris sama itu itu menandai dua episode revolusioner gerakan mahasiswa.

Kerevolusioneran Adiwibowo karena ia mampu membuat sebuah kekuatan kelompok pemuda dan mahasiswa yang tak terkait dengan kehendak politisi, birokrat, dan militer. Tiga kelompok kepentingan itu yang hendak mengggalang kekuasaan politik. Seperti halnya Adiwibowo, Gie juga menggunakan kata revolusi[7]untuk menyatakan pandangannya. Itu berarti dalam 60 tahun istilah PA dan 50 tahun istilah MPA, keduanya dibarengi dengan revolusi.

Kini apakah ada revolusi baru di akhir tahun 2014 atau 2015 di tangan dan dipikiran kritis para pencinta alam? Rezim Jokowi Dodo secara resmi memiliki jargon Revolusi Mental dengan dua varian[8], tapi tak ada kontra-jargon atau revolusi tandingan, sebagai istilah baru kalangan mahasiswa demonstran yang juga menggunakan unsur kosakata revolusioner. Apakah MPA pernah memikirkan hal seperti ini, sebagaimana Adiwibowo dan Gie?

Pemahaman pada sejarah MPA secara runtut hanya bisa dengan membaca tulisan, aktivitas, ideologi Gie, dan kemudian menafsirkannya. Lima puluh tahun adalah waktu yang lama untuk sebuah penafsiran. Meski belum cukup mendalam bila hanya dituliskan dalam beberapa lembar saja untuk sebuah seminar yang hanya berlangsung selama dua atau tiga jam.

Gie dan Tionghoa Makassar

Gie seorang etnis Tionghoa, tapi terdepan dalam keprihatinan terhadap nasib bangsa ini. Inilah yang membedakan dirinya dengan mahasiswa Tionghoa di Makassar, yang sejak akhir tahun 80-an hingga 2014 tak ada yang pernah eksis sebagai demonstran atau aktivis mahasiswa. Etnis Tionghoa Jakarta lebih bebas menyuarakan ekspresinya di Jakarta daripada Makassar. Pasca G30S PKI, Gie ikut menjadi demonstran yang turut mengakhiri legitimasi kuasa Soekarno, namun pada konteks sama, justru di Makasssar terjadi pengganyangan Cina[9].

Trauma atas pengganyangan Cina, mungkin bisa menjadi alasan mengapa mahasiswa Tionghoa Makassar tidak ada yang pernah seberani Gie dalam urusan nasib bangsa. Tionghoa Makassar dihubung-hubungkan pula dengan kekuatan komunis yang dipasok dari konsulat Cina. Secara politik dan sosial, kalangan Tionghoa Makassar membuat demarkasi pemukiman yang disebut Pecinan. Gie dan keluarganya tidak tinggal di Jakarta dalam sebuah kompleks yang eksklusif dengan kluster penghuni hanya sesama etnis. Gie adalah Tionghoa yang bergaul dengan pribumi hingga di lorong-lorong kumuh.

Gie tetap eksis dengan nama orisinal dan tak menggantikannya dengan nama lain, sebagaimana kakaknya, yang merubah nama dari Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman[10]. Gie menghadapi suatu perbenturan budaya di awal Orde Baru yang disebut pembauran berupa pergantian nama-nama yang berbau China[11]. Arief Budiman mengistilahkan proses pergantian nama itu sebagai acculturation dan forced aculturation (akulturasi yang dipaksakan).

Integrasi dan Asimilasi
Tetap menggunakan nama Tionghoa atau menggunakan nama lain merupakan persoalan yang dialami kubu Integrasi[12] dan Asimilasi[13]. Meskipun Gie tak merubah nama, ia justru bergabung pada kubu asimilasi yang bertujuan menghilangkan sama sekali identitas nama dan budaya Tionghoa. Untung saja Gie tak bergabung di kubu integrasi, karena kemudian Baperki oleh Soeharto dianggap sebagai bagian (underbouw) dari PKI. Ketua Baperki yang pro-integrasi bersama Oei Tjoe Tat, dipenjarakan tanpa melewati pengadilan. Arief Budiman juga membuat pengakuan bahwa ia sama sekali tak mengenal Siauw Giok Tjhan[14], ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Pergulatan dua doktrin ini yang pernah dialami Gie, tak membuat dirinya menjadi terpisah dari aktivitas dengan tokoh-tokoh penentang Soekarno. Semua tokoh tersebut berasal dari pribumi dan akademisi  asing. Tak seorangpun diantara mereka dari etnis keturuan Tionghoa. Itu berarti Gie sudah melampaui dua doktrin utama yang berkaitan dengan posisi terpatrisi antara Tionghoa dan pribumi.
Mereka adalah Soemitro Djojohadikusumo (1917-2001)[15], Henk Tombokan[16], Boeli C.H Londa[17], Jopie Lasut, Zainal Zakse (1938-1967)[18], Rosihan Anwar (1923-2011)[19], Soedjatmoko Mangoendiningrat (1922 – 1989)[20], Nugroho Notosusanto ((1930-1985)[21], Ben Anderson[22], Soeripto (1934-2010)[23], Yoga Sugama(1935-2013)[24], Soewarto[25], Fikri Jufri[26], dan Nono Anwar Makarim. Putra Soemitro yakni Prabowo Subianto juga akrab dengan Gie.Kawan-kawan pergaulan Gie yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak Soekarno, Soeharto, Reformasi dan hingga sekarang, menunjukkan kualitas diri sang Pencinta Alam itu.

Integrasi dan asimilasi ini menjawab pula bagaimana sehingga kalangan Tionghoa Makassar mengalami pengganyangan pada tahun 1965[27] maupun di Jakarta pada kerusuhan Mei 1998.

Latar Pembentukan MPA

Meski MPA kini memiliki beragama pilihan aktivitas luar ruang, namun saat itu Gie memilih mendaki gunung. Ia menghindari terlibat dalam politik praktis. Penghindaran yang ia pilih yakni mendaki gunung. Terhadap politik, ia sebut sebagai barang paling kotor, meski ia memberi toleransi pada dirinya untuk kemudian terlibat pada suatu saat. Ia seorang moralis yang memilih gunung sebagai tempat penenangan diri. Moralitas yang ia hendak bangun di MPA karena disanalah bisa melakukan kontemplasi.

Pendirian MPA Fakultas Sastra UI pada tahun 1964, berada di ujung Rezim Soekarno yang otoriter.Bukan hanya akademisi, tapi juga klik militer ingin mengakhiri kekuasaan tersebut. Di saat Gie menjadi bagian utuh dari kekuatan anti-Soekarno, maka saat itu pula MPA berdiri. Tak ada catatan khusus Gie di tahun pembentukan MPA[28] tersebut. Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran, Gie hanya membuat tiga catatan saja. Alasan Gie mendirikan MPA justru dicatat oleh Daniel Dhakidae[29]:

Soe Hok Gie tidak saja memahami rahasia membikin pribadi terbaik, tapi dia berupaya untuk senantiasamembongkar rahasia itu dan menyebarkannya dengan ikut mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) pada awal tahun 1960-an, yaitu rahasia yang begitu sederhana yaitu bertumbuh dalam alam terbuka. Dalam tafsirannya, alam terbuka adalah gunung dan dia putuskan untuk naik gunung. Di sana seluruh bumi membuka diri, kaki langit tertancap teguh di seputar dirinya dan dia menatap kaki langit tanpa rintangan karena tidak ada yang lebih tinggi dari puncak. Disana dia merasa bersih dan dia membersihkan dirinya.”[30]

Bagian lain dari motif pembentukan Mapala, menurut Daniel Dhakidae adalah sikap keputusasaan, sehingga memusatkan diri pada kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler seperti mendaki gunung dan memimpin organisasi yang disebut sebagai Mapala, Radio Ampera, Radio Universitas Indonesia, dan terakhir ikut mendirikan Grup Diskusi Universitas Indonesia. Sikap keputusaan Gie, bersumber pada catatan yakni “Minggu-minggu ini adalah hari-hari yang berat untuk saya, karena saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

Namun meski terasa adanya keputusasaan, menurut Dhakidae, dia mempunyai pilihannya sendiri yakni menjadi “manusia bebas”. Dhakidae mengemukakan bahwa berulang kali di dalam catatan hariannnya dikatakan bahwa dalam situasi semacam ini hanya dua pilihan yang bisa dibuat yakni menjadi apatis atau ikut arus.

Untuk mendaki gunung, Gie dan kawan-kawannya meminta sumbangan, yang oleh Gie disebut mengemis. Pada pendakian Gunung Slamet itu, Gie menyatakan bila terlalu banyak pertanyaan para donor maka inilah jawabannya. “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesiadapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”[31]

Bagian yang harus dikritisi dari tulisan opini Gie ini, yakni dibalik alasan pendakian itu. Ia hendak menaklukkan gunung Slamet, sebagaimana judul tulisannya di harian Kompas tersebut. Kata ‘penaklukan’ seharusnya tak perlu terpakai untuk mereka mencintai alam, di masa sekarang. Bila memang menaklukkan itu penting, berarti gunung adalah sebuah obyek yang menjadi lawan, bukan sesuatu yang harus dicintai. Kalau memang harus menjadi penakluk, maka cinta tak punya tempat lagi di ujung-ujung tringulasi.

Ostaf al Mustafa, anggota Korps Pencinta Alam Universitas Hasanuddin (KORPALA-UNHAS)












[1] Mapala FSUI didirikan pada tahun 1964, bertujuan mewadahi minat mahasiswa FSUI yang senang kegiatan di alam bebas. Diresmikan di Bukit Ciampea yang diikuiti oleh 30 peserta. Bukit kapur Ciampea Bogor ini kini dijadikan sarana panjat tebing dan latihan TNI Angkatan Darat.
[2] Meski hanya hanya hidup singkat selama 26 tahun (1942-1969), tapi bagian penting dari kehidupannya sebagai aktivis mahasiswa, demonstran, penulis aktif, moralis, dan MPA dilewati dengan penentangan pada tirani dan kediktatoran Soekarno dan Soeharto. Masa kemahasiswaannya berlangsung normal selama tujuh tahun di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (1962-1969). Tanggal dan bulan kelahiran berdekatan dengan kematiannya. Gie lahir pada 17 Desember dan meninggal 16 Desember di tempat yang memang dia kehendaki untuk mati yaitu di Gunung Semeru (3675 mdpl)

[3]Pradnya Paramita atau Prajnaparamita merupakan seorang devi (dewi) dalam bodhisatwa yang berkaitan dengan kebijaksanaan yang sempurna, yang tentu saja juga berhubungan dengan pengetahuan. Dewi ini dianggap telah mencapai tingkatan kebijaksanaan tertinggi.

[4]Maulana, Koy Gandasuteja, Amin Sumardji, Ratnaesih, dan Edhi Wuryantoro.

[5]Demokrasi Terpimpin(1959-1966) ini merupakan penyatuan kekuatan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kekuasaan negara terpusat pada Soekarno. Pola ini ini juga dikembangkan di Rusia. Selama era tersebut, kondisi rakyat dihadapkan pada pendapatan negara melalui ekspor yang terus menurun, inflasi tinggi, dan korupsi makin mewabah di kalangan birokrat dan militer. Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI) yang dipimpin Prof. Soemitro membuat manifesto yang menolak Demokrasi Terpimpin. “Jelaslah sudah bagi kita, bahwa istilah Demokrasi Terpimpin dipakai sebagai topeng belaka justru untuk menindas dan menumpaskan asas-asas demokrasi sendiri….”

[6] Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) menandai habisnya era Soekarno menuju Soeharto. Meski Supersemar segelap masalahnya dengan G30S PKI, tapi dua peristiwa itu dengan berbagai versi, menandai pergantian datangnya Orde Baru (1966-1998).

[7]“Dalam politik tak ada moral. Bagiku sendiri, politik adalah barang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat dimana kita tak dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba, seperti revolusi terdahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur ini.” (lihat : Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran. LP3S. 2002: 121)

[8]Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Ordo Jesuit Romo Benny Susetyo, aktivis Setara Institute sekaligus Tim Sukses Jokowi menuliskan istilah Revolusi Mental di harian Sindo, Sabtu (10/05/2014). Di hari yang sama, opini Joko Widodo berjudul Revolusi Mental juga dimuat di harian Kompas. Versi Romo Benny tentang Revolusi Mental berasal dari Romo Mangunwijaya yakni, “Pengertiannya merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif menuju positif.” Pandangan Jokowi tentang Revolusi Mental yakni Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

[9]Tanggal hitam dalam sejarah negara kita. 30 September 1965, hari Gestapu di Makassar lewat dengan tenang. Berminggu-minggu lamanya Pemuda Khatolik menjaga gereja-gereja dan biara-biara, berhubung adanya banyak desas-desus mengenai balas dendam yang direncanakan kaum komunis. Tanggal 10 Nopember, kemarahan rakyat meletus melawan penduduk Tionghoa dan konsulat Tionghoa. Toko-toko , rumah-rumah diserang dan dihancurkan. Hanya mereka yang terang-terangan dapat membuktikan kekristenannya dan kewarga-negaraannya, luput dari nafsu penghancur itu. (Lihat : Dr. M.P.M Muskens Pr. Sejarah Katholik Indonesia. Jakarta. 1973 : 460)

[10] Lahir di Jakarta, 3 Januari 1941. Aktivis 66 dan terkenal dengan kampanye Golput (Golongan Putih) pada Pemilu 1973. Semasa mahasiswa menjadi penanda tangan Manifesto Kebudayaan (17/08/1963) yang menentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia).

[11] “Sebetulnya saya tidak setuju. Adik saya (Soe Hok Gie almarhum) juga tidak setuju. Pada tahun 1967, soal pembauran dan pergantian nama itu memang tidak dipaksa betul, tetapi diimbau. Tetapi, akhirnya kami ganti nama juga karena kami khawatir rekan-rekan lain ikut-ikutan tidak mau ganti, dan justru akan didiskriminasi. Kami dulu sedikitnya agak dikenal oleh masyarakat. Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan nama, saya malah minta tolong istri saya yang memilih nama untuk saya. Adik saya juga menganggap pergantian nama ini tidak prinsipiil. Yap Thian Hiem (almarhum) memang mengatakan dia tidak mau mengganti nama karena itu soal hak asasi manusia. (Majalah D&R, Sabtu 25/07/1998, Edisi 21/03 - 25/Juli/1998)

[12]Doktrin Integrasi menurut Arief Budiman yakni memperjoangkan keaneka-ragaman budaya atau “multiculturalism”. Doktrin Integrasi meminta supaya orang-orang Cina diakui sebagai salah satu suku, disamping suku-suku yang sudah ada di Indonesia. Doktrin dipelopori oleh Siauw Giok Tjhan, ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki inilah yang kemudian mendirikan Universitas Trisakti, yang sebelumnya bernama Universitas Res Publika. Soekarno mendukung doktrin ini pada tahun 1963 dengan menerima adanya etnis Tionghoa di Indonesia.

[13]Doktrin  asimilasi yakni meleburkan diri ke dalam budaya Indonesia dan menghapus ke-Cinaan. Pendukungnya antara lain P.K. Ojong, Yap Thiam Hien, Oei Tjin San. Politikus Katholik juga ikut bergabung yakni Harry Tjan Silalahi dan Onghokham. Kubu penganut doktrin ini yakni LPKB atau Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa dibawah pimpinan Kristoforus Sindhunata awal tahun 1960-an.  Gie ikut bergabung di LPKB.Sindhunata merupakan perwira angkatan laut keturunan Cina.

[14] Arief Budiman menulis khusus tentang tokoh Baperki ini dengan judul, SIAUW GIOK TJHAN YANG TIDAK SAYA KENAL (Sumber : temu_eropa@yahoogroups.com)


[15]Dikenal sebagai begawan ekonomi. Kecerdasannya terlihat ketika di usia 33 tahun sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI dan menjadi bagian pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mantan besan Soeharto ini merupakan ayah dari Mantan Danjens Kopassus dan Capres pada Pilpres 2014.

[16] Tokoh gerakan Permesta (Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta) yang pertama berpusat di Makassar dan kemudian di Manado. Dideklarasikan oleh tokoh sipil dan militer pada hari Sabtu,  2 Maret 1957 yang dikomandoi oleh Letkol Ventje Sumual. Henk Tombokan pernah di penjara bersama Andi Muis dalam kasus pemberontakan Permesta. Andi Muis kemudian dikenal sebagai Pakar Komunikasi Hukum Indonesia dari Universitas Hasanuddin.

[17] Anggota Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis). Gemsos berdiri pada hari Jumat21 Oktober 1955, berideologi Sosialisme Kerakyatan.

[18] Anggota Pers Mahasiswa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).Ia ditetapkan sebagai Wartawan Pahlawan Ampera. Ia dibunuh oleh pasukan pengawal istana atau Cakrabirawa (sekarang : Paspampres) akibat tusukan sangkur dan kekerasan menggunakan popor senjata, pada peringatan gugurnya Pahlawan Revolusi, Senin (03/10/1966).  Sebelum menjadi anggota Gemsos, ia bergabung dengan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).

[19]Ia perpaduan antara wartawan, sastrawan, dan budawan, meskipun lebih terkenal sebagai tokoh pers Indonesia.Ia salah seorang pendiri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta.
[20] Dalam aktivitas politik, pada tahun 1952, bergabung dengan pers beraliran sosialis dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tokoh yang dipanggil Bung Koko aktif mengeritik Presiden Soekarno ketika semakin otoriter.

[21]Bridjen TNI (Purn.) Prof. Dr.Nugroho Notosusanto, seorang militer yang juga sastrawan. Karyanya berupa cerpen Hujan Kepagian, menandai pencatatan kisah heroik perang revolusi tapi tidak seperti penulisan sejarah. HB Yassin menyebut dirinya sebagai Sastrawan 66. Jabatan yang pernah diembannya pasca pemberlakukan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) yakni Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Ia yang membuat skenario sebuah film tontonan wajib era Orba berupa Pemberontakan G30S PKI.

[22]Benedict Richard O'Gorman Anderson, profesor emeritus dalam bidang Studi Internasional Universitas Cornell. Ia terkenal karena bukunya Imagined Communities membahas kebangkitan nasionalisme. Buku tersebut diterjemahkan menjadi Komunitas-Komunitas Terbayang (2002) oleh Insist dan Pustaka Pelajar. Pertemuan Anderson dengan Gie dicatat oleh Salim Said, yang juga ikut hadir. Mereka membahas Paper yang ditulis Anderson bersama Ruth Mcvey. Paper itu menyatakan Gestapu merupakan pertemuan kepentingan PKI dan perwira di Jawa Tengah yang tak puas kepada para Pimpinan Angkatan Darat. Mereka bertemu di rumah Gie, Jalan Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada tahun 1967. (Lihat : Salim Said. Dari Gestapu ke Reformasi : Serangkaian Kesaksian. Mizan. Jakarta . 2013:

[23]Mayor Jenderal Soeripto, alumnus Akademi Militer Nasional (AMN). Ketika berpangkat Brigjen menjabat Kepala Staf Komando Cadangan Strategis (Kostrad), lalu Pangdam Bukit Barisan. Ia kemudian menjadi Panglima Kostrad, berpangkat Mayjen.Ada juga Soeripto yang kedua, seorang tokoh yang anti-PKI, semasa masih mahasiswa. Bahkan selama 7 tahun (1957-1964) menghadapi kelompok mahasiswa komunis yang disebut Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Ia kemudian bergabung dengan militer di Kodam VI Siliwangi untuk menghadang laju PKI. Pengganyang Cina di Bandung yang dipicu pembukaan Poros Peking Jakarta oleh Soekarno, dihubungkan dengan dirinya, Jumat (10/05/1963). Ia dihukum dua tahun penjara oleh PN Bandung. Kini masih aktif dalam kajian inteljen.Julukan untuknya yakni Inteljen Tiga Zaman. Di masa mudanya, ia pengusung Sosialis Syahrir. Kini aktif di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Soeripto ini tak diberitakan bertemu Gie, namun dengan aktivitasnya yang anti-PKI, pasti ada jalur dimana mereka berpapasan dalam satu kepentingan.

[24]Jenderal TNI Purnawirawan Yoga Sugama, salah seorang dari empat jenderal kepercayaan Soeharto. Jabatan semasa Orba yakni Wakil Ketua G-I Koti (1966-1967), Direktur Intelijen Strategi Pertahanan dan Keamanan (1967-1968), Wakil Kepala Bakin (1968), dan Kabakin (1968-1969).

[25] Mayor Jenderal Soewarto memimpin lembaga SESKOAD (1961-1965) ketika bertemu Gie. Sebelumnya SESKOAD bernama Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD). Perubahan SSKAD menjadi SESKOAD terlaksana pada Senin (2/02/1961). Soewarto kemudian digelari Bapak SESKOAD.

[26]Fikri Jufri, lahir Jakarta, 25 Maret 1936. Di masa Gie, ia aktif sebagai reporter Reporter Harian Kami(1967-1968).Liputan pertamanya di awal Orba (1967) tentang kerusuhan di kawasan Kota, Jakarta. Ia segera menghubungi kantor redaksi Harian KAMI. Berita kerusuhan yang ia laporkan, esoknya dimuat di halaman satu.

[27]Walaupun demikian, sejarah mencatat pula bahwa Makassar adalah kota pertama di Indonesia yang menjadi lokasi "pengganyangan orang-orang China atau keturunan China (10 November 1965). Tindakan rasialis warga Makassar itu untuk melampiaskan kemarahan mereka pada peristiwa G30S dan terhadap poros Jakarta-Beijing yang dibangun pemerintahan Orde Lama. Sejak itu, kota Makassar menjadi lokasi paling sering terjadi kerusuhan rasial dengan "pengganyangan" orang-orang Tionghoa dan atau keturunannya. Penyebabnya, kemungkinan terbesar, adalah "kecemburuan sosial" karena dampak politik penjajahan yang menempatkan etnis Tionghoa berbeda dengan masyarakat pribumi. Maka, dengan perlakuan khusus pemerintah kolonial tersebut, orang-orang Tionghoa memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk membuka usaha, di mana setiap kesempatan kerja yang mereka ciptakan memprioritaskan sesamanya etnis China. Memang ada kesan di kalangan warga Makassar, tidak ada orang China yang miskin. Mereka, di masa lalu, sangat besar menguasai perekonomian daerah/nasional sehingga tingkat kesejahteraannya memancing kecemburuan sosial. (Lihat : M. Fahmi Myala dalam China Makassar, Selayang Pandang, Kompas, Senin, (10/09/2007)

[28] Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran (2004 : 118-122), Gie hanya menulis tiga catatan pada Kamis (28/02/1964), Sabtu (16/03/1964), dan Jumat (20/03/1964). Ketiga tulisan tersebut, tak ada yang membahas tentang gunung ataupun pencinta alam. Kritikannya pada Kamis itu yakni “Apakah yang lebih tidak adil selain daripada mendidik sebagian kecil anak-anak orang kaya dan membiarkan rakyat miskin tetap bodoh?” Masih di hari yang sama Gie menyatakan tentang bagaimana ia condong ke kiri dan memilih bacaan-bacaan pihak komunis. “Alasan-alasannya lebih termakan untuk diriku daripada golongan lawan-lawannya.” Catatan hari Sabtu, “Presiden adalah jabatan kenegaraan, Panglima Tertinggi Angkatan Perang adalah jabatan ketentaraan dan Revolusi adalah jabatan keagamaan. Menurut Ong, revolusi kini sudah menjadi agama baru. Siapa-siapa yang dicap anti revolusi, berarti anti kebenaran.” Ong yang dimaksud Gie yakni Ong Hok Ham (1933-2007), seorang sejarawan dan cendekiawan Indonesia. Pada hari Jumat, Gie menulis kritikan pada Rosihan Anwar yakni manusia-manusia tipe Rosihan Anwarlah yang menjadi ciri khas daripada generasi 45. Mereka berpikir bahwa mereka paling hebat. Dari grup mereka ini (sisa-sisa PSI) sudah terlalu senang dan terpandang, borjuis, sehingga mereka menjadi pengecut. Sosialisme bagi mereka adalah slogan-slogan dan lip service saja. “Musuh kami adalah kemiskinan dan kebodohan” adalah slogan yang paling kosong yang mereka dengungkan. Itulah sebabnya PSI telah kalah dan tidak disenangi rakyat.

[29]Doktor lulusan Cornel University ini lahir di Flores, Rabu, 22 Agustus 1945.Ia bekerja sebagai redaktur di Majalah Prisma LP3S. LP3S inilah yang kemudian mengumpulkan catatan Gie hingga kemudian menjadi buku. Pembukuan catatan itu dilakukan ketika dirinya menjabat menjadi Ketua Dewan Redaksi (1979-1984), dan menjadi Wakil Direktur LP3ES (1982-1984). Catatan Harian Seorang Demonstran pada Mei 1983.

[30] Bagian pengantar pada Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, Jakarta : LP3S, 1983.

[31] Soe Hok Gie, “Menaklukkan Gunung Slamet,” dalam Kompas, Kamis (14/09/1967)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar