Kamis, 17 September 2015

Lima Puluh Tahun Sejarah Mahasiswa Pencinta Alam

Lima Puluh Tahun Sejarah Mahasiswa Pencinta


Dua Revolusi Pencinta Alam

Di luar dari alur teks sejarah formal, di ujung tahun 2014, istilah Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) tepat di usia emas. Lima puluh tahun lalu[1], Soe Hok Gie[2] membentuk Mapala Pradjnaparamitha[3] Fakultas Sastra Universitas Indonesia, bersama lima mahasiswa lainnya[4]. Jejak kawan-kawan Gie tak terpetakan pergerakannya maupun ideologinya, sehingga susah memasuki perwatakan organisasi MPA itu secara total di luar dari Gie.

MPAitu  terbentuk pada 1964, dua tahun sebelum runtuhnya Demokrasi Terpimpin[5] dan jatuhnya kekuasaan Soekarno[6]. Sebelum muncul istilah Mahasiswa Pencinta Alam, sepuluh tahun sebelumnya Adiwibowo memperkenalkan istilah Pentjinta Alam. Kedua frase yang nyaris sama itu itu menandai dua episode revolusioner gerakan mahasiswa.

Kerevolusioneran Adiwibowo karena ia mampu membuat sebuah kekuatan kelompok pemuda dan mahasiswa yang tak terkait dengan kehendak politisi, birokrat, dan militer. Tiga kelompok kepentingan itu yang hendak mengggalang kekuasaan politik. Seperti halnya Adiwibowo, Gie juga menggunakan kata revolusi[7]untuk menyatakan pandangannya. Itu berarti dalam 60 tahun istilah PA dan 50 tahun istilah MPA, keduanya dibarengi dengan revolusi.

Kini apakah ada revolusi baru di akhir tahun 2014 atau 2015 di tangan dan dipikiran kritis para pencinta alam? Rezim Jokowi Dodo secara resmi memiliki jargon Revolusi Mental dengan dua varian[8], tapi tak ada kontra-jargon atau revolusi tandingan, sebagai istilah baru kalangan mahasiswa demonstran yang juga menggunakan unsur kosakata revolusioner. Apakah MPA pernah memikirkan hal seperti ini, sebagaimana Adiwibowo dan Gie?

Pemahaman pada sejarah MPA secara runtut hanya bisa dengan membaca tulisan, aktivitas, ideologi Gie, dan kemudian menafsirkannya. Lima puluh tahun adalah waktu yang lama untuk sebuah penafsiran. Meski belum cukup mendalam bila hanya dituliskan dalam beberapa lembar saja untuk sebuah seminar yang hanya berlangsung selama dua atau tiga jam.

Gie dan Tionghoa Makassar

Gie seorang etnis Tionghoa, tapi terdepan dalam keprihatinan terhadap nasib bangsa ini. Inilah yang membedakan dirinya dengan mahasiswa Tionghoa di Makassar, yang sejak akhir tahun 80-an hingga 2014 tak ada yang pernah eksis sebagai demonstran atau aktivis mahasiswa. Etnis Tionghoa Jakarta lebih bebas menyuarakan ekspresinya di Jakarta daripada Makassar. Pasca G30S PKI, Gie ikut menjadi demonstran yang turut mengakhiri legitimasi kuasa Soekarno, namun pada konteks sama, justru di Makasssar terjadi pengganyangan Cina[9].

Trauma atas pengganyangan Cina, mungkin bisa menjadi alasan mengapa mahasiswa Tionghoa Makassar tidak ada yang pernah seberani Gie dalam urusan nasib bangsa. Tionghoa Makassar dihubung-hubungkan pula dengan kekuatan komunis yang dipasok dari konsulat Cina. Secara politik dan sosial, kalangan Tionghoa Makassar membuat demarkasi pemukiman yang disebut Pecinan. Gie dan keluarganya tidak tinggal di Jakarta dalam sebuah kompleks yang eksklusif dengan kluster penghuni hanya sesama etnis. Gie adalah Tionghoa yang bergaul dengan pribumi hingga di lorong-lorong kumuh.

Gie tetap eksis dengan nama orisinal dan tak menggantikannya dengan nama lain, sebagaimana kakaknya, yang merubah nama dari Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman[10]. Gie menghadapi suatu perbenturan budaya di awal Orde Baru yang disebut pembauran berupa pergantian nama-nama yang berbau China[11]. Arief Budiman mengistilahkan proses pergantian nama itu sebagai acculturation dan forced aculturation (akulturasi yang dipaksakan).

Integrasi dan Asimilasi
Tetap menggunakan nama Tionghoa atau menggunakan nama lain merupakan persoalan yang dialami kubu Integrasi[12] dan Asimilasi[13]. Meskipun Gie tak merubah nama, ia justru bergabung pada kubu asimilasi yang bertujuan menghilangkan sama sekali identitas nama dan budaya Tionghoa. Untung saja Gie tak bergabung di kubu integrasi, karena kemudian Baperki oleh Soeharto dianggap sebagai bagian (underbouw) dari PKI. Ketua Baperki yang pro-integrasi bersama Oei Tjoe Tat, dipenjarakan tanpa melewati pengadilan. Arief Budiman juga membuat pengakuan bahwa ia sama sekali tak mengenal Siauw Giok Tjhan[14], ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Pergulatan dua doktrin ini yang pernah dialami Gie, tak membuat dirinya menjadi terpisah dari aktivitas dengan tokoh-tokoh penentang Soekarno. Semua tokoh tersebut berasal dari pribumi dan akademisi  asing. Tak seorangpun diantara mereka dari etnis keturuan Tionghoa. Itu berarti Gie sudah melampaui dua doktrin utama yang berkaitan dengan posisi terpatrisi antara Tionghoa dan pribumi.
Mereka adalah Soemitro Djojohadikusumo (1917-2001)[15], Henk Tombokan[16], Boeli C.H Londa[17], Jopie Lasut, Zainal Zakse (1938-1967)[18], Rosihan Anwar (1923-2011)[19], Soedjatmoko Mangoendiningrat (1922 – 1989)[20], Nugroho Notosusanto ((1930-1985)[21], Ben Anderson[22], Soeripto (1934-2010)[23], Yoga Sugama(1935-2013)[24], Soewarto[25], Fikri Jufri[26], dan Nono Anwar Makarim. Putra Soemitro yakni Prabowo Subianto juga akrab dengan Gie.Kawan-kawan pergaulan Gie yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak Soekarno, Soeharto, Reformasi dan hingga sekarang, menunjukkan kualitas diri sang Pencinta Alam itu.

Integrasi dan asimilasi ini menjawab pula bagaimana sehingga kalangan Tionghoa Makassar mengalami pengganyangan pada tahun 1965[27] maupun di Jakarta pada kerusuhan Mei 1998.

Latar Pembentukan MPA

Meski MPA kini memiliki beragama pilihan aktivitas luar ruang, namun saat itu Gie memilih mendaki gunung. Ia menghindari terlibat dalam politik praktis. Penghindaran yang ia pilih yakni mendaki gunung. Terhadap politik, ia sebut sebagai barang paling kotor, meski ia memberi toleransi pada dirinya untuk kemudian terlibat pada suatu saat. Ia seorang moralis yang memilih gunung sebagai tempat penenangan diri. Moralitas yang ia hendak bangun di MPA karena disanalah bisa melakukan kontemplasi.

Pendirian MPA Fakultas Sastra UI pada tahun 1964, berada di ujung Rezim Soekarno yang otoriter.Bukan hanya akademisi, tapi juga klik militer ingin mengakhiri kekuasaan tersebut. Di saat Gie menjadi bagian utuh dari kekuatan anti-Soekarno, maka saat itu pula MPA berdiri. Tak ada catatan khusus Gie di tahun pembentukan MPA[28] tersebut. Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran, Gie hanya membuat tiga catatan saja. Alasan Gie mendirikan MPA justru dicatat oleh Daniel Dhakidae[29]:

Soe Hok Gie tidak saja memahami rahasia membikin pribadi terbaik, tapi dia berupaya untuk senantiasamembongkar rahasia itu dan menyebarkannya dengan ikut mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) pada awal tahun 1960-an, yaitu rahasia yang begitu sederhana yaitu bertumbuh dalam alam terbuka. Dalam tafsirannya, alam terbuka adalah gunung dan dia putuskan untuk naik gunung. Di sana seluruh bumi membuka diri, kaki langit tertancap teguh di seputar dirinya dan dia menatap kaki langit tanpa rintangan karena tidak ada yang lebih tinggi dari puncak. Disana dia merasa bersih dan dia membersihkan dirinya.”[30]

Bagian lain dari motif pembentukan Mapala, menurut Daniel Dhakidae adalah sikap keputusasaan, sehingga memusatkan diri pada kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler seperti mendaki gunung dan memimpin organisasi yang disebut sebagai Mapala, Radio Ampera, Radio Universitas Indonesia, dan terakhir ikut mendirikan Grup Diskusi Universitas Indonesia. Sikap keputusaan Gie, bersumber pada catatan yakni “Minggu-minggu ini adalah hari-hari yang berat untuk saya, karena saya memutuskan bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.”

Namun meski terasa adanya keputusasaan, menurut Dhakidae, dia mempunyai pilihannya sendiri yakni menjadi “manusia bebas”. Dhakidae mengemukakan bahwa berulang kali di dalam catatan hariannnya dikatakan bahwa dalam situasi semacam ini hanya dua pilihan yang bisa dibuat yakni menjadi apatis atau ikut arus.

Untuk mendaki gunung, Gie dan kawan-kawannya meminta sumbangan, yang oleh Gie disebut mengemis. Pada pendakian Gunung Slamet itu, Gie menyatakan bila terlalu banyak pertanyaan para donor maka inilah jawabannya. “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesiadapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”[31]

Bagian yang harus dikritisi dari tulisan opini Gie ini, yakni dibalik alasan pendakian itu. Ia hendak menaklukkan gunung Slamet, sebagaimana judul tulisannya di harian Kompas tersebut. Kata ‘penaklukan’ seharusnya tak perlu terpakai untuk mereka mencintai alam, di masa sekarang. Bila memang menaklukkan itu penting, berarti gunung adalah sebuah obyek yang menjadi lawan, bukan sesuatu yang harus dicintai. Kalau memang harus menjadi penakluk, maka cinta tak punya tempat lagi di ujung-ujung tringulasi.

Ostaf al Mustafa, anggota Korps Pencinta Alam Universitas Hasanuddin (KORPALA-UNHAS)












[1] Mapala FSUI didirikan pada tahun 1964, bertujuan mewadahi minat mahasiswa FSUI yang senang kegiatan di alam bebas. Diresmikan di Bukit Ciampea yang diikuiti oleh 30 peserta. Bukit kapur Ciampea Bogor ini kini dijadikan sarana panjat tebing dan latihan TNI Angkatan Darat.
[2] Meski hanya hanya hidup singkat selama 26 tahun (1942-1969), tapi bagian penting dari kehidupannya sebagai aktivis mahasiswa, demonstran, penulis aktif, moralis, dan MPA dilewati dengan penentangan pada tirani dan kediktatoran Soekarno dan Soeharto. Masa kemahasiswaannya berlangsung normal selama tujuh tahun di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia (1962-1969). Tanggal dan bulan kelahiran berdekatan dengan kematiannya. Gie lahir pada 17 Desember dan meninggal 16 Desember di tempat yang memang dia kehendaki untuk mati yaitu di Gunung Semeru (3675 mdpl)

[3]Pradnya Paramita atau Prajnaparamita merupakan seorang devi (dewi) dalam bodhisatwa yang berkaitan dengan kebijaksanaan yang sempurna, yang tentu saja juga berhubungan dengan pengetahuan. Dewi ini dianggap telah mencapai tingkatan kebijaksanaan tertinggi.

[4]Maulana, Koy Gandasuteja, Amin Sumardji, Ratnaesih, dan Edhi Wuryantoro.

[5]Demokrasi Terpimpin(1959-1966) ini merupakan penyatuan kekuatan Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kekuasaan negara terpusat pada Soekarno. Pola ini ini juga dikembangkan di Rusia. Selama era tersebut, kondisi rakyat dihadapkan pada pendapatan negara melalui ekspor yang terus menurun, inflasi tinggi, dan korupsi makin mewabah di kalangan birokrat dan militer. Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI) yang dipimpin Prof. Soemitro membuat manifesto yang menolak Demokrasi Terpimpin. “Jelaslah sudah bagi kita, bahwa istilah Demokrasi Terpimpin dipakai sebagai topeng belaka justru untuk menindas dan menumpaskan asas-asas demokrasi sendiri….”

[6] Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) menandai habisnya era Soekarno menuju Soeharto. Meski Supersemar segelap masalahnya dengan G30S PKI, tapi dua peristiwa itu dengan berbagai versi, menandai pergantian datangnya Orde Baru (1966-1998).

[7]“Dalam politik tak ada moral. Bagiku sendiri, politik adalah barang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat dimana kita tak dapat menghindar diri lagi, maka terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba, seperti revolusi terdahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur ini.” (lihat : Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran. LP3S. 2002: 121)

[8]Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Ordo Jesuit Romo Benny Susetyo, aktivis Setara Institute sekaligus Tim Sukses Jokowi menuliskan istilah Revolusi Mental di harian Sindo, Sabtu (10/05/2014). Di hari yang sama, opini Joko Widodo berjudul Revolusi Mental juga dimuat di harian Kompas. Versi Romo Benny tentang Revolusi Mental berasal dari Romo Mangunwijaya yakni, “Pengertiannya merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif menuju positif.” Pandangan Jokowi tentang Revolusi Mental yakni Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.

[9]Tanggal hitam dalam sejarah negara kita. 30 September 1965, hari Gestapu di Makassar lewat dengan tenang. Berminggu-minggu lamanya Pemuda Khatolik menjaga gereja-gereja dan biara-biara, berhubung adanya banyak desas-desus mengenai balas dendam yang direncanakan kaum komunis. Tanggal 10 Nopember, kemarahan rakyat meletus melawan penduduk Tionghoa dan konsulat Tionghoa. Toko-toko , rumah-rumah diserang dan dihancurkan. Hanya mereka yang terang-terangan dapat membuktikan kekristenannya dan kewarga-negaraannya, luput dari nafsu penghancur itu. (Lihat : Dr. M.P.M Muskens Pr. Sejarah Katholik Indonesia. Jakarta. 1973 : 460)

[10] Lahir di Jakarta, 3 Januari 1941. Aktivis 66 dan terkenal dengan kampanye Golput (Golongan Putih) pada Pemilu 1973. Semasa mahasiswa menjadi penanda tangan Manifesto Kebudayaan (17/08/1963) yang menentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia).

[11] “Sebetulnya saya tidak setuju. Adik saya (Soe Hok Gie almarhum) juga tidak setuju. Pada tahun 1967, soal pembauran dan pergantian nama itu memang tidak dipaksa betul, tetapi diimbau. Tetapi, akhirnya kami ganti nama juga karena kami khawatir rekan-rekan lain ikut-ikutan tidak mau ganti, dan justru akan didiskriminasi. Kami dulu sedikitnya agak dikenal oleh masyarakat. Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan nama, saya malah minta tolong istri saya yang memilih nama untuk saya. Adik saya juga menganggap pergantian nama ini tidak prinsipiil. Yap Thian Hiem (almarhum) memang mengatakan dia tidak mau mengganti nama karena itu soal hak asasi manusia. (Majalah D&R, Sabtu 25/07/1998, Edisi 21/03 - 25/Juli/1998)

[12]Doktrin Integrasi menurut Arief Budiman yakni memperjoangkan keaneka-ragaman budaya atau “multiculturalism”. Doktrin Integrasi meminta supaya orang-orang Cina diakui sebagai salah satu suku, disamping suku-suku yang sudah ada di Indonesia. Doktrin dipelopori oleh Siauw Giok Tjhan, ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki inilah yang kemudian mendirikan Universitas Trisakti, yang sebelumnya bernama Universitas Res Publika. Soekarno mendukung doktrin ini pada tahun 1963 dengan menerima adanya etnis Tionghoa di Indonesia.

[13]Doktrin  asimilasi yakni meleburkan diri ke dalam budaya Indonesia dan menghapus ke-Cinaan. Pendukungnya antara lain P.K. Ojong, Yap Thiam Hien, Oei Tjin San. Politikus Katholik juga ikut bergabung yakni Harry Tjan Silalahi dan Onghokham. Kubu penganut doktrin ini yakni LPKB atau Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa dibawah pimpinan Kristoforus Sindhunata awal tahun 1960-an.  Gie ikut bergabung di LPKB.Sindhunata merupakan perwira angkatan laut keturunan Cina.

[14] Arief Budiman menulis khusus tentang tokoh Baperki ini dengan judul, SIAUW GIOK TJHAN YANG TIDAK SAYA KENAL (Sumber : temu_eropa@yahoogroups.com)


[15]Dikenal sebagai begawan ekonomi. Kecerdasannya terlihat ketika di usia 33 tahun sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI dan menjadi bagian pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mantan besan Soeharto ini merupakan ayah dari Mantan Danjens Kopassus dan Capres pada Pilpres 2014.

[16] Tokoh gerakan Permesta (Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta) yang pertama berpusat di Makassar dan kemudian di Manado. Dideklarasikan oleh tokoh sipil dan militer pada hari Sabtu,  2 Maret 1957 yang dikomandoi oleh Letkol Ventje Sumual. Henk Tombokan pernah di penjara bersama Andi Muis dalam kasus pemberontakan Permesta. Andi Muis kemudian dikenal sebagai Pakar Komunikasi Hukum Indonesia dari Universitas Hasanuddin.

[17] Anggota Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis). Gemsos berdiri pada hari Jumat21 Oktober 1955, berideologi Sosialisme Kerakyatan.

[18] Anggota Pers Mahasiswa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).Ia ditetapkan sebagai Wartawan Pahlawan Ampera. Ia dibunuh oleh pasukan pengawal istana atau Cakrabirawa (sekarang : Paspampres) akibat tusukan sangkur dan kekerasan menggunakan popor senjata, pada peringatan gugurnya Pahlawan Revolusi, Senin (03/10/1966).  Sebelum menjadi anggota Gemsos, ia bergabung dengan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).

[19]Ia perpaduan antara wartawan, sastrawan, dan budawan, meskipun lebih terkenal sebagai tokoh pers Indonesia.Ia salah seorang pendiri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta.
[20] Dalam aktivitas politik, pada tahun 1952, bergabung dengan pers beraliran sosialis dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tokoh yang dipanggil Bung Koko aktif mengeritik Presiden Soekarno ketika semakin otoriter.

[21]Bridjen TNI (Purn.) Prof. Dr.Nugroho Notosusanto, seorang militer yang juga sastrawan. Karyanya berupa cerpen Hujan Kepagian, menandai pencatatan kisah heroik perang revolusi tapi tidak seperti penulisan sejarah. HB Yassin menyebut dirinya sebagai Sastrawan 66. Jabatan yang pernah diembannya pasca pemberlakukan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) yakni Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Ia yang membuat skenario sebuah film tontonan wajib era Orba berupa Pemberontakan G30S PKI.

[22]Benedict Richard O'Gorman Anderson, profesor emeritus dalam bidang Studi Internasional Universitas Cornell. Ia terkenal karena bukunya Imagined Communities membahas kebangkitan nasionalisme. Buku tersebut diterjemahkan menjadi Komunitas-Komunitas Terbayang (2002) oleh Insist dan Pustaka Pelajar. Pertemuan Anderson dengan Gie dicatat oleh Salim Said, yang juga ikut hadir. Mereka membahas Paper yang ditulis Anderson bersama Ruth Mcvey. Paper itu menyatakan Gestapu merupakan pertemuan kepentingan PKI dan perwira di Jawa Tengah yang tak puas kepada para Pimpinan Angkatan Darat. Mereka bertemu di rumah Gie, Jalan Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada tahun 1967. (Lihat : Salim Said. Dari Gestapu ke Reformasi : Serangkaian Kesaksian. Mizan. Jakarta . 2013:

[23]Mayor Jenderal Soeripto, alumnus Akademi Militer Nasional (AMN). Ketika berpangkat Brigjen menjabat Kepala Staf Komando Cadangan Strategis (Kostrad), lalu Pangdam Bukit Barisan. Ia kemudian menjadi Panglima Kostrad, berpangkat Mayjen.Ada juga Soeripto yang kedua, seorang tokoh yang anti-PKI, semasa masih mahasiswa. Bahkan selama 7 tahun (1957-1964) menghadapi kelompok mahasiswa komunis yang disebut Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Ia kemudian bergabung dengan militer di Kodam VI Siliwangi untuk menghadang laju PKI. Pengganyang Cina di Bandung yang dipicu pembukaan Poros Peking Jakarta oleh Soekarno, dihubungkan dengan dirinya, Jumat (10/05/1963). Ia dihukum dua tahun penjara oleh PN Bandung. Kini masih aktif dalam kajian inteljen.Julukan untuknya yakni Inteljen Tiga Zaman. Di masa mudanya, ia pengusung Sosialis Syahrir. Kini aktif di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Soeripto ini tak diberitakan bertemu Gie, namun dengan aktivitasnya yang anti-PKI, pasti ada jalur dimana mereka berpapasan dalam satu kepentingan.

[24]Jenderal TNI Purnawirawan Yoga Sugama, salah seorang dari empat jenderal kepercayaan Soeharto. Jabatan semasa Orba yakni Wakil Ketua G-I Koti (1966-1967), Direktur Intelijen Strategi Pertahanan dan Keamanan (1967-1968), Wakil Kepala Bakin (1968), dan Kabakin (1968-1969).

[25] Mayor Jenderal Soewarto memimpin lembaga SESKOAD (1961-1965) ketika bertemu Gie. Sebelumnya SESKOAD bernama Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD). Perubahan SSKAD menjadi SESKOAD terlaksana pada Senin (2/02/1961). Soewarto kemudian digelari Bapak SESKOAD.

[26]Fikri Jufri, lahir Jakarta, 25 Maret 1936. Di masa Gie, ia aktif sebagai reporter Reporter Harian Kami(1967-1968).Liputan pertamanya di awal Orba (1967) tentang kerusuhan di kawasan Kota, Jakarta. Ia segera menghubungi kantor redaksi Harian KAMI. Berita kerusuhan yang ia laporkan, esoknya dimuat di halaman satu.

[27]Walaupun demikian, sejarah mencatat pula bahwa Makassar adalah kota pertama di Indonesia yang menjadi lokasi "pengganyangan orang-orang China atau keturunan China (10 November 1965). Tindakan rasialis warga Makassar itu untuk melampiaskan kemarahan mereka pada peristiwa G30S dan terhadap poros Jakarta-Beijing yang dibangun pemerintahan Orde Lama. Sejak itu, kota Makassar menjadi lokasi paling sering terjadi kerusuhan rasial dengan "pengganyangan" orang-orang Tionghoa dan atau keturunannya. Penyebabnya, kemungkinan terbesar, adalah "kecemburuan sosial" karena dampak politik penjajahan yang menempatkan etnis Tionghoa berbeda dengan masyarakat pribumi. Maka, dengan perlakuan khusus pemerintah kolonial tersebut, orang-orang Tionghoa memperoleh kesempatan yang lebih luas untuk membuka usaha, di mana setiap kesempatan kerja yang mereka ciptakan memprioritaskan sesamanya etnis China. Memang ada kesan di kalangan warga Makassar, tidak ada orang China yang miskin. Mereka, di masa lalu, sangat besar menguasai perekonomian daerah/nasional sehingga tingkat kesejahteraannya memancing kecemburuan sosial. (Lihat : M. Fahmi Myala dalam China Makassar, Selayang Pandang, Kompas, Senin, (10/09/2007)

[28] Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran (2004 : 118-122), Gie hanya menulis tiga catatan pada Kamis (28/02/1964), Sabtu (16/03/1964), dan Jumat (20/03/1964). Ketiga tulisan tersebut, tak ada yang membahas tentang gunung ataupun pencinta alam. Kritikannya pada Kamis itu yakni “Apakah yang lebih tidak adil selain daripada mendidik sebagian kecil anak-anak orang kaya dan membiarkan rakyat miskin tetap bodoh?” Masih di hari yang sama Gie menyatakan tentang bagaimana ia condong ke kiri dan memilih bacaan-bacaan pihak komunis. “Alasan-alasannya lebih termakan untuk diriku daripada golongan lawan-lawannya.” Catatan hari Sabtu, “Presiden adalah jabatan kenegaraan, Panglima Tertinggi Angkatan Perang adalah jabatan ketentaraan dan Revolusi adalah jabatan keagamaan. Menurut Ong, revolusi kini sudah menjadi agama baru. Siapa-siapa yang dicap anti revolusi, berarti anti kebenaran.” Ong yang dimaksud Gie yakni Ong Hok Ham (1933-2007), seorang sejarawan dan cendekiawan Indonesia. Pada hari Jumat, Gie menulis kritikan pada Rosihan Anwar yakni manusia-manusia tipe Rosihan Anwarlah yang menjadi ciri khas daripada generasi 45. Mereka berpikir bahwa mereka paling hebat. Dari grup mereka ini (sisa-sisa PSI) sudah terlalu senang dan terpandang, borjuis, sehingga mereka menjadi pengecut. Sosialisme bagi mereka adalah slogan-slogan dan lip service saja. “Musuh kami adalah kemiskinan dan kebodohan” adalah slogan yang paling kosong yang mereka dengungkan. Itulah sebabnya PSI telah kalah dan tidak disenangi rakyat.

[29]Doktor lulusan Cornel University ini lahir di Flores, Rabu, 22 Agustus 1945.Ia bekerja sebagai redaktur di Majalah Prisma LP3S. LP3S inilah yang kemudian mengumpulkan catatan Gie hingga kemudian menjadi buku. Pembukuan catatan itu dilakukan ketika dirinya menjabat menjadi Ketua Dewan Redaksi (1979-1984), dan menjadi Wakil Direktur LP3ES (1982-1984). Catatan Harian Seorang Demonstran pada Mei 1983.

[30] Bagian pengantar pada Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran, Jakarta : LP3S, 1983.

[31] Soe Hok Gie, “Menaklukkan Gunung Slamet,” dalam Kompas, Kamis (14/09/1967)

Selasa, 15 September 2015

Revolusi Etika Pencinta Alam

Revolusi Etika Pencinta Alam

Oleh: Ostaf Al Mustafa

“Tidak pada Jika
Bukan dalam Andai”

Sekeping ungkapan itu, menandaskan bahwa Pencinta Alam mencintai Tuhan dan alam dengan sepenuh hati dan selimpah jiwa tanpa jika dan andai. Lalu bagaimana memahami Pencinta Alam pada suatu masa lalu dan kini dalam sebuah konteks ekspedisi yang pernah dilaksanakan KORPALA-UNHAS? Inilah sepasti pertanyaan dan jawabannya.

Pencinta Alam sebuah Frase Revolusioner
Tesaurus Bahasa Indonesia (2008) terbitan Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan beberapa kata yang semirip petualang yakni pengembara, musafir, pelimbang, petandang, pengeliling, avonturir, penjelajah, perantau, pelancong, turis, dan wisatawan. Semua kata-kata benda tersebut cocok digunakan untuk keenam atlet EPA 2011, tergantung pada konteks maupun kesesuaian kalimat.

Petualangan merupakan kegiatan yang sudah lebih dulu ada sebelum frase ‘Pencinta Alam’. Petualangan bukan tentang kehebohan tingginya ombak hingga dua atau tiga meter maupun kerasnya terjangan bibit-bibit badai dalam EPA 2011. Tak ada yang heboh dalam peristiwa rutin alami. Badai dan ombak sudah menjadi khasanah sejati yang harus dilewati enam pelimbang laut Makassar tersebut. Siapapun penggiat alam terbuka, bebas disebut petualang atau penjelajah. Sebutan itu tak mencederai sikap etis dan moral sebagai Pencinta Alam.

Bila kata dalam bahasa Indonesia memiliki bobot ideologis, sebagaimana dalam bahasa Inggris, maka kemungkinan hanya sebutan penjelajah yang tak cocok disematkan pada mereka. Penjelajah berasal dari kata ‘jajah’ yang mendapatkan sisipan atau infiks ‘el’. Sisipan lainnya berupa afiks seperti –es-, -em-, -er-, -ah-, dan –in-, yang berkemungkinan merubah makna pada nomina atau juga tidak.

Petualangan bukan sebuah istilah khusus dalam Pencinta-Alam. Siapa saja bisa menggunakan kata itu secara otonom bila berkegiatan di alam luar ruang atau jagat terbuka. Berbagai tesaurus yang bersinonim dengan petualangan itu tak terkaburkan dalam kegiatan EPA 2011. Petualangan bukan bagian kecil dari lingkup ekspedisi maupun kualitas Pencinta Alam, tapi merupakan sinergi yang terbaurkan.

Tak perlu terpilah-pilah dalam pemilihan makna, hanya karena keragaman berkosa-kata. Ketika epik pelayaran ke Australia itu dituliskan, Pencinta Alam sudah melebur dengan sebutan apapun. Masihkan adakah yang ingin memisahkan rasa asin pada garam, ketika sedang berada di tengah gelombang? Seperti itulah permisalan bagi mereka yang tak setuju Pencinta Alam disebut petualang atau apapun sebutannya.

Penonjolan harus dilakukan ketika menuliskan kemelut yang mereka alami, tapi bukan membesar-besarkan secara hiperbolik. Apa yang mampu dituliskan, tidak sepenuhnya menggambarkan ketegangan psikologis yang mereka rawat di setiap arus. Penulisan literasi ini, berupaya untuk mengimajinasikan realitas petualangan laut, yang tak sembarang orang mampu melakukannya.

Tak ada proklamasi untuk mereka berenam sebagai petualangan, sebab C.C. Macknight secara khusus menyebut pelayaran orang Makassar sebagai the voyage, bahkan Paul Clark menyebut para pelaut itu sebagai seafarer. Orang yang melakukan voyage, disebut voyager. Sebutan Macassan, dalam teks bahasa Inggris terhadap orang Makassar hampir semuanya berkonotasi sebagai petualangan, meski makna itu seharusnya denotatif. Keenam atlet EPA adalah petualang, sebagaimana bila menerjemahkan voyager tersebut, bahkan lebih tinggi lagi ketika disebut sebagai seafarer.

The Sage’s English Dictionary and Thesaurus, sinonim voyage yakni sail dan navigate. Kamus yang sama menyebutkan pula hipernim yakni dari voyage berupa journey, travel, seafaring, danocean travel. Hiponim dari navigate yakni crossing, space travel, spacefaring, spaceflight, cruise, maiden voyage, sail, dan astrogate. Sinonim, hipernim, dan hiponim voyage didasarkan sebagai kata benda (noun) dan kata kerja (verb).

Memang ada juga yang beranggapan bahwa ekspedisi yang dilakukan KORPALA-UNHAS, harusnya tak disebut sebagai petualangan. Wajib disebut sebagai ekspedisi saja, titik! Asal mula kata ekspedisi berkaitan dengan pengangkutan barang. Mereka berenam tak melakukan pengangkutan barang, apakah itu melanggar penamaan sebagai ekspedisi?

Demikianlah setiap kata mengerut dan memuai, sesuai dingin dan panasnya konteks kalimat. Sebagaimana api tak selalu menunjukkan tentang sesuatu yang menghanguskan, tapi juga berarti spirit yang memanaskan energi. Ada juga ketidak-setujuan untuk menyebut nelayan Makassar sebagai penjelajah, karena misi mereka hanya untuk mencari teripang. Bila tak cocok kata itu untuk mereka, mengapa Berndt and Berndtm (1988) menyebut pelayaran orang Makassar sebagai ekspedisi?

Ekspedisi menurut merriam-webster.com adalah “a journey especially by a group of people for a specific purpose (such as to explore a distant place or to do research)”. Istilah ekspedisi baru dikenal pada abad ke-15. Intinya, sebutan ekspedisi yakni ada tujuan tertentu dan mengeksplorasi daerah yang jauh atau melakukan riset. Baik pelaut Makassar berabad-abad silam dan enam anggota KORPALA-UNHAS melakukan hal yang nyaris sama. Bahkan research (mencari kembali) juga cocok dengan apa yang dilakukan para pelaut Makassar, meski kini istilah itu dipersempit pada penelitian ilmiah.

Bila petualang disebut dalam berbagai penamaan, itu berarti secara bahasa telah terjadi hipernim dan hiponim. Hipernim adalah kata-kata yang memperantarai banyak kata lain. Hipernim dapat menjadi kata umum dari penyebutan kata-kata lainnya. Hiponim adalah kata-kata yang terjembatani artinya oleh kata hipernim. Umumnya kata-kata hipernim adalah suatu kategori dan hiponim merupakan anggota dari kata hipernim. Hal itu terjadi bila dilacak dari segi kata benda.

Ketika Awibowo sebagai orang pertama yang tercatat pertama kali menggunakan istilah Pencinta Alam. Ia menggunakan frase tersebut dalam konteks etis dan bukan mempermasalahkannya dengan sebutan lain berupa petualang, penjelajah, dan sebagainya. Pandangan etisnya yakni “Terima kasih, kalian telah ikut menyuburkan benih-benih cinta alam yang kami taburkan dahulu. Jangan hanya berpartisipasi, tetapi berikan dedikasi yang murni kepada alam!”


Revolusi Pertama Pentjinta Alam
Asal mula frase atau istilah Pencinta Alam itu disampaikan Norman Edwin (1955 - 1992) dalam artikel di majalah Mutiara, 20 Juni-3 Juli 1984. Dalam artikel itu Norman menulis, “Awibowo, Biang Pencinta Alam Indonesia”. Awibowo pertama kali menggunakannya secara resmi pada Ahad, 18 Oktober 1953. Awibowo mendirikan Perkumpulan Pentjinta Alam (PPA), ketika selesai pendidikannya di Universitas Indonesia di Bogor (sekarang IPB). Di tahun itu, Bahasa Indonesia memasuki zaman ejaan Republik atau ejaan Suwandi, karena dirinya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ejaan yang diresmikan pada hari Rabu, 19 Maret 1947, sudah diubah penulisan ‘oe’ menjadi ‘u’, namun untuk huruf yang dibaca ‘c’ ditulis dengan ‘tj’.

Sang biang ini, revolusioner dalam mengidekan gagasannya tentang suatu organisasi yang berisi sosok-sosok yang peduli alam. “Selesai revolusi, kami ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini. Itu kami wujudkan dengan mencintai alamnya," Tegas Awibowo yang sudah berusia hampir 80 tahun, ketika ditemui Norman. Bila saja ia mengemukakan pemikirannya secara tertulis pada masa-masa kehidupannya di kampus, maka Awibowo jauh lebih revolusioner dari Soe Hok Gie. Ia revolusioner pertama dalam kecintaan pada alam.

Hingga akhirnya PPA bubar pada tahun 1950-an, maupun ketika Awibowo memasuki usia senja, ia sama sekali tak terusik oleh perbedaan semantik antara Pencinta Alam dengan petualangan maupun kata-kata sejenisnya. Jika ‘Biang Pentjinta Alam’ tak mempermasalahkan, lalu kenapa orang-orang belakangan menjadikannya sebagai debat di atas dokar antara para kusir?

Awibowo kembali menunjukkan dirinya sebagai seorang yang matang dalam ‘kepentjinta-alaman’ terutama ketika ia membahas tentang apa yang sebenarnya yang patut dicintai. “Bila ingin hidup senang sehari, makanlah. Bila ingin hidup senang sebulan, menikahlah. Tapi, bila ingin hidup sejahtera selamanya….buatlah taman!” Apakah taman yang ia maksud adalah makna denotatif atau konotatif, masih tetap berhubungan dengan kecintaan pada alam? Tentu saja bila tak mampu membuat taman, maka cintailah taman yang paling luas di semesta itu dalam bentuk gunung, gua, tebing, lembah, hutan, dan rimba. Lalu kolam pada taman itu terwakili pada sungai, telaga, rawa, dan laut.

Demikian juga ketika PPA sudah mulai hilang, muncullah Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi (IPAM) yang didirikan pada Rabu, 19 Agustus 1964 di puncak gunung Pangrango (3019 mdpl). Mandalawangi merupakan nama puncak gunung Pangrango. Mereka yang membentuk IPAM tak mewariskan teks apapun yang mengklasifikasi antara Pencinta Alam dengan petualangan.

Revolusi Kedua Pencinta Alam
Gagasan revolusi yang digagas Awibowo dalam Pentjinta Alam, kemudian berlanjut pada Soe Hok Gie (1942 – 1969). Ia  kemudian makin mempopulerkan frase Pencinta Alam. Gagasan keberadaan Pencinta Alam sebagai suatu nama, muncul kembali pada pada Ahad sore, 8 November 1964, saat kerja bakti di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Gagasan yang lahir di kuburan ini, kemudian berlanjut pada pertemuan kedua  di Unit III bawah gedung Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) Rawamangun, di depan ruang perpustakaan.

Saat itu Herman O. Lantang yang menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Nama baru tersebut yakni IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Nama ini bukan berasal dari Drs. Moendardjito kelahiran Bogor, Selasa, 8 Oktober 1936. Sosok yang akrab dengan panggilan ‘Pak Okti’, kemudian dikenal sebagai Prof. DR. Moendardjito, arkeolog UI ternama. Nama Impala, kemudian tidak disetujui Drs. Bambang Soemadio, PD III FSUI, bidang Mahalum (Mahasiswa dan Alumni). Nama itu dianggap borjuis, sehingga bisa menimbulkan resistensi dari mahasiswa yang kontra-penguasa.

Ide tentang IMPALA berhenti dalam alur sebuah sejarah, bukan hanya karena penolakan Bambang, tapi juga sebuah sikap kritis terhadap kondisi Indonesia.  Impala pada masa itu merupakan mobil Chevy/Chevrolet yang mewah masa itu. Kemewahan Impala adalah bagian dari lakon buruk petinggi negara Impala.

Nama IMPALA menghilang, kemudian diubah menjadi Mapala Prajnaparamita. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam dan Prajnaparamita berarti Dewi Pengetahuan. Selain itu Mapala juga berarti berbuah, dalam bahasa Sanskerta. Istilah Mapala ini yang kemudian semakin mempopulerkan Pencinta Alam di tengah kehidupan kampus yang makin kritis.

Bila masih ada masih meributkan petualangan, penjelajahan, pengembaraan dan sebutan sejenis lainnya dengan Pencinta Alam, itu berarti lalai membaca sejarah etis dari mereka yang pernah menggunakannya pertama kali. Lebih bermasalah lagi bila petualangan dianggap bagian kecil dari Pencinta Alam, karena seperti memfragmentasikan antara garam dan rasa asin.

Rasa asin dari Pencinta Alam adalah petualangan, pengarungan, dan pengembaraan, entah karena berkeringat atau memang berada di atas permadani gelombang melintasi lautan. Hanya satu yang mungkin tak cocok bila keenam petandang lautan ini disebut sebagai pengarung lautan. Pasti akan ada yang bertanya, “Memangnya isi laut bisa dimasukkan dalam karung?”

Pentjinta Alam versi Awibowo
Awibowo sendiri mengatakan tentang alasan mengapa ia memilih ‘Pentjinta Alam’. “Kami ramai berdiskusi soal istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu,” cerita Awibowo. Ada yang mengusulkan untuk memakai istilah “Penggemar Alam” atau “Pesuka Alam”. Kedua istilah itu, disanggah oleh Awibowo. “Tapi saya mengusulkan istilah “Pentjinta Alam”, karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka,” tutur Awibowo melanjutkan cerita kepada Norman.

Menurut Awibowo, gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka, tetapi cinta mengandung makna mengabdi. “Bukankah kita dituntut untuk mengabdi pada negeri ini?” Tanya Awibowo memberi penegasan pada Norman, kala itu. Istilah Pentjinta Alam, terasa aneh saat itu, karena cinta masih seidentik dengan urusan asmara. Namun Awibowo tak peduli.

Ketidak-pedulian Awibowo, akhirnya justru menjadi puncak kepeduliaannya pada Indonesia, karena ia menekankan sebuah sikap etis yang harus dilakoni pada setiap warga Negara yakni mengabdi pada negeri ini. Bukan hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang patut disebut ‘Abdi Negara’ sebagaimana emblem yang terbaca di pakaian dinas harian. Siapapun harus dan wajib mengabdikan diri untuk bangsa dan negeri, apalagi bila telah menyematkan diri dalam sebutan sebagai Pentjinta Alam.

Tujuan pendirian PPA adalah “Memperluas serta mempertinggi rasa tjinta terhadap alam seisinja dalam kalangan anggauta-anggautanja dan masjarakat oemoemnja.” PPA waktu itu merupakan kelompok hobi. Anggaran dasar PPA menyebutkan, “PPA (Perkumpulan Pentjinta Alam) adalah perkumpulan kesukaan (hobby).” “Hobby diartikan suatu kesukaan jang positif serta sutji, lepas dan sutji dari “sifat maniak” jang semata-mata melepaskan nafsunya dalam tjorak negatief.”

Mengabdi pada bangsa dan negeri ini, bisa dilakukan oleh siapapun yang mengemari dan menyukai olahraga alam bebas, apalagi jika bergiat dengan niat berupa cinta. Dengan demikian, masalahnya bukan ketika menggunakan istilah petualangan, pengarung, dan pengembara. Perihal yang krusial yakni apakah keenam atlet EPA 2011 melakukan pengembaraan lautan atas nama cinta dan mengabdi bangsa?

Bila itu tentang cinta, apakah ada yang lebih romantis daripada warna ‘biru langit’ sebagaimana nama yang tertulis pada lambung sandeq? Tentang pengabdian pada bangsa, harus dipertanyakan mengapa pihak Pemda Tingkat II Mandar yang lebih terkagum-kagum ketika orang Jepang dan orang Barat mempopulerkan sandeq untuk kepentingan pameran belaka di luar negeri?

Mengapa ketika sandeq dilayarkan oleh sesama bangsa sendiri, justru kalangan pemerintah tak memberikan apresiasi khusus? Memang hal seperti itu sama sekali tak pernah menjadi bersitan keinginan KORPALA-UNHAS untuk dipuji-puji oleh aparat pemerintah. Jika berkaitan pada kecintaan pada bangsa dan negeri ini, mengapa justru pemerintah setempat tidak melaksanakan kegiatan khusus untuk sandeq? Kegiatan yang sepenuhnya memang dipikirkan sendiri oleh para birokrat tersebut?

Pencinta Alam tanpa Huruf ‘n’

Soe Hok Gie Gie, Herman O. Lantang, Moendardjito, hingga Bambang Soemadio, tidak mengemas keberadaan Pencinta Alam dengan membenturkannya dengan petualangan. Khusus untuk Gie, Pencinta Alam merupakan sebuah alur idealismenya dalam memegang prinsip sebagai mahasiswa yang kritis pada kondisi negara. Pencinta alam, merupakan suatu sikap etis terutama ketika ia menuliskan tentang alasan “Untuk apa mendaki gunung.”

Tak ada filosofi bahasa yang patut didapatkan, bila masih ada yang mempersusah diri membedakan ‘Pencinta Alam’ dengan ‘Pecinta Alam’, hanya karena hilangnya huruf ‘n’. Bila pencinta dan pecinta menjadi pilihan kata ketika membuat puisi asmara, maka apakah ketiadaan dan adanya huruf ‘n’, bisakah merubah gula merah terasa seperti coklat?

Ketika Norman Edwin memulai kepeloporan ekspedisi besar yang dipanitiai oleh internal mahasiswa, sosok legendaris berambut lebat itu, tak mempersulit diri untuk membedakan istilah petualangan dan Pencinta Alam. Kegiatan penjelajahan alam pada tahun 1980-an banyak terpublikasikan di sejumlah majalah dan surat kabar, hal itu karena tingginya produktifitas Norman dalam menulis. Norman menulis diantaranya dalam majalah Mutiara dan harian Kompas. Ia memang wartawan Kompas.

Norman, salah seorang pelopor terkemuka dalam ekspedisi besar ke beberapa gunung ternama dan tertinggi dunia. Ketika kemudian ia meninggal dunia di dalam salah satu ekspedisi di   pertengahan Maret 1992 saat mendakI Gunung Aconcagua (6959 mdpl) bersama rekannya Didiek Samsu Wahyu Triachdi, ia dikenang sebagai beruang gunung, petualang, jurnalis alam bebas, Pencinta Alam, dan banyak lagi sebutan tersohor untuknya. Norman telah mendapat tempat paling terhormat di hati para Pencinta Alam. Tak sembarang orang, bisa melepas hidup pada tempat yang paling ingin dipijaknya.

Norman yang berhasil merubah Mapala UI menuju suatu organisasi pencinta alam yang berkemampuan tinggi dalam hal ekspedisi lintas negara. Apakah Mapala UI masih berdebat dalam kata-kata yang tak berkesudahan, dalam menjelaskan ekspedisi itu? Ternyata tidak! Ketika mapala lain dari sejumlah universitas masih menguras otak hanya memperdebatkan hal-hal semantik, tapak-tapak sepatu Mapala UI sudah menanjak di ujung-ujung kecil vertikal bumi.

Norman Edwin dan tentu saja Mapala UI sudah menancapkan bendera organisasi di lingkar beberapa sentimeter di atas puncak-puncak gunung, ketika masih ada yang berdebat kosong tentang apakah Pencinta Alam itu petualang atau penjelajah? Norman Edwin dijuluki sebagai beruang gunung. Apakah julukan itu masih ada juga yang masih memperdebatkanya sebagai suatu hal yang berbeda dengan Pencinta Alam?

Julukan Norman menginspirasi pula sejumlah organisasi mapala, dengan menyebut anggota-anggota baru mereka dengan sebutan binatang. Kucing hitam hingga banteng liar, menjadi pilihan. Hanya beberapa sebutan nama yang belum pernah resmi terpakai yakni ‘buaya darat’, ‘kambing hitam’, hingga ‘musang berbulu ayam’.

Revolusi Etis dan Revolusi Etika
Ketika KORPALA-UNHAS menjadi tuan rumah TWKM (Temu Wicara Kenal Medan) V  tahun 1992, nilai-nilai etis Pencinta Alam kembali dibahasakan, tanpa memisah-misahkan penamaan itu dengan sebutan sebagai petualangan dan sejenisnya. Saat itu salah seorang senior pendiri KORPALA-UNHAS yakni Nevy James Tonggiroh, mengemukakan pandanganya tentang apa itu yang disebut ‘alam bebas’.

Dalam berbagai pembicaraan, kegiatan luar ruang atau alam terbuka itu, kadang-kadang disebut pula sebagai aktivitas alam bebas. Nevy memberikan makna yakni, “Alam bebas bukanlah tempat berkegiatan, tapi berada dalam pikiran! Dengan demikian bisa saja Pencinta Alam yang berwawasan sempit tak bebas di alam terbuka. Namun ada yang tak menyebut diri sebagai Pencinta Alam, justru terbebaskan pikirannya di alam terbuka karena wawasannya.”

Makna tentang ‘alam bebas’ mungkin tak banyak lagi mengingatnya, meski TWKM itu telah berlalu di seluruh kalender di 22 tahun silam. Nevy menekankan bahwa di alam bebas, selalu terdapat nilai etis, yang tak bisa tertolak oleh pikiran dangkal. Pemilik nomor keanggotan K.100 85 026 tersebut, telah mengundurkan diri dari KORPALA-UNHAS, tapi penjelasannya tentang arti Pencinta Alam, tetap menjadi bagian dari kemajuan organisasi tersebut.

Sampai sekarang, belum ada kesepakatan tentang bagaimana mengartikan Pencinta Alam ke dalam bahasa Inggris. Sebuah arti yang sekaligus bisa memasukkan nilai etis dan revolusioner yang digagas Awibowo dan Soe Hok Gie. Horst Liebner, ketika membuat laporan ilmiah tentang sandeq, sehubungan dengan EPA 1996, mengartikan Korps Pencinta Alam sebagai Corps of the Friends of Nature. Tidak ada masalah bila menyatakan Pencinta Alam sebagai Friends of Nature.

Bila ada yang mengartikan Pencinta Alam sebagai nature lover, tentu saja tak tepat. Frase nature lover yang ditulis oleh ahli lingkungan hidup dan aktivis lingkungan, tidaklah seperti sejarah keberadaan Pencinta Alam. Dalam The Ecocritism Reader: Landmarks in Literary Ecology (1996), terdapat istilah yang disebut oleh Krutch sebagai “contemptous epithet nature lover”, sebagaimana otobiografinya More Lives Than One.

Buku yang dieditori oleh Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm itu, menyatakan ‘nature lover’  dalam kaitan dengan pertumbuhan kesadaran terhadap hubungan umat manusia dengan dunia non-manusia. Dalam segi makna, sangat cocok dengan nilai etis Pencinta Alam terhadap alam dan lingkungan.

Adventure dalam Ilmu Ekonomi

Adventure bukan hanya dipakai untuk istilah yang berkaitan dengan dunia petualangan di alam liar. Bahkan istilah itu juga masuk dalam dunia ekonomi. Jean-Baptiste Say (1767-1832) pendukung dari Laissez-faire, yang merupakan frase yang berarti ‘biarkan terjadi’, ‘biarkan lewat’ atau ‘biarkan berbuat’. Istilah itu dipergunakan kalangan psikorat (pemerintahan alam) yang mendukung ekonomi berbasis pertanian untuk melawan intervensi pemerintah dalam perdagangan.

Peran pemerintah diharuskan tak perlu ada untuk kesejahteraan rakyat, pemerataan distribusi pendapatan, pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Prinsip kapitalis ini bukanlah doktrin tertentu yang dianut olseh sebuah negara, tergantung sekuat apa para pemilik modal berkuasa atas pemerintah, aparat keamanan dan para politisi.

Dalam hal permintaan dan penawaran, bagi Say harus selalu seimbang yakni permintaan akan menciptakan dan sekaligus mencerminkan penawaran itu sendiri. Dengan demikian, hanya ketersediaan barang yang menentukan kegiatan perdagangan, bukan uang. Dalam permintaan dan penawaran, interaksi produsen dan konsumen pada barang, bukan pada uang. Bukan “ada uang ada barang”, tapi “ada barang ada uang”.

Meski diusung adanya persamaan hak warga negara untuk mendapatkan keuntungan dari hasil usaha mereka, tapi selalu ada yang mendapatkan hak istimewa dari negara. Keistimewaan itu harus berbayar dan ada registrasinya. Sebelum Barat, mengedepankan kepemilikan uang dan barang sebagai kapital, maka agama Kristen Katholik sudah memakai uang untuk penebus dosa. Pada mereka yang masih beriman Kristen atau tidak, kedua pihak percaya bahwa uang merupakan penentu dari sebuah kekuasaan. Kekuasaan terbesar bukan karena memerintah sebuah alur birokrasi, tapi menguasai sumber alam dan daya yang bisa menjadi uang.

Say dalam A Treatise on Political Economy (1880), menjelaskan tentang produksi, distribusi, dan konsumsi.  Dalam hal produksi, ia mengambil pandangan Aristoteles tentang produsi alami dan artifisial. Produksi alami biasanya hanya untuk lingkup keluarga atau lingkaran kerabat saja. Di luar dari lingkup kecil itu, bila ada produksi maka disebut artifisial.

Pada halaman 41, Say memperkenalkan istilah entrepreneur yang dalam bahasa Inggris seidentik dengan undertaker  yang berarti penjaga kuburan atau pengurus pemakaman (Hal. 41). Istilah ini secara terbatas berkaitan dengan master manufaktur dalam pabrik, petani di pertanian, dan saudagar dalam perdagangan. Dalam ketiga hal tersebut, maka ada orang yang mampu bertanggung-jawab, menerima resiko, melakukan upaya permodalan yang berkaitan dengan industri , apakah itu berasal dari miliknya atau pinjaman.

Kata yang lebih tepat untuk penerjemahan entrepreneur dalam bahasa Inggris yakni adventurer. Untuk itulah, buku yang diterjemahkan dari bahasa Prancis oleh C.R. Prinsep M.A dan Clement C. Biddle LL.D, ketika menyebut entrepeneur diartikan sebagai adventurer, sebagaimana dalam edisi kelima (April 1832) dan keenam (Desember 1834).

Dalam film cowboy, biasanya diperlihatkan di depan gerai undertaker terlihat ada jejeran peti mayat yang dijejer. Kelihatannya seram juga bila entrepreneur ternyata secara denotasi berkaitan dengan urusan kematian, keburaman, kesedihan, dan kesuraman. Undertaker dalam bahasa Inggris diartikan sebagai one whose business is the management of funeral (orang yang bisnisnya mengurus pemakaman). Betapa jauh wilayah pemakaian kata adventure atau adventurer, ketika dipakai sebagai penerjemahan dari entrepreneur.

Jadi bukan masalah bila Pencinta Alam disebut petualang atau penjelajah maupun kata apapun yang sejenis, asal bukan sebagai conquer (penakluk), karena bertentangan dengan revolusi etis atau revolusi etika yang harus terdepan dalam prilaku Pencinta Alam.

Ostaf al Mustafa anggota KORPALA-UNHAS