Lima Puluh Tahun Sejarah Mahasiswa Pencinta
Dua
Revolusi Pencinta Alam
Di luar dari alur teks sejarah
formal, di ujung tahun 2014, istilah Mahasiswa Pencinta Alam (MPA) tepat di
usia emas. Lima puluh tahun lalu[1],
Soe Hok Gie[2]
membentuk Mapala Pradjnaparamitha[3]
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, bersama lima mahasiswa lainnya[4].
Jejak kawan-kawan Gie tak terpetakan pergerakannya maupun ideologinya, sehingga
susah memasuki perwatakan organisasi MPA itu secara total di luar dari Gie.
MPAitu terbentuk pada 1964, dua tahun sebelum
runtuhnya Demokrasi Terpimpin[5]
dan jatuhnya kekuasaan Soekarno[6].
Sebelum muncul istilah Mahasiswa Pencinta Alam, sepuluh tahun sebelumnya
Adiwibowo memperkenalkan istilah Pentjinta Alam. Kedua frase yang nyaris sama
itu itu menandai dua episode revolusioner gerakan mahasiswa.
Kerevolusioneran Adiwibowo karena ia
mampu membuat sebuah kekuatan kelompok pemuda dan mahasiswa yang tak terkait
dengan kehendak politisi, birokrat, dan militer. Tiga kelompok kepentingan itu
yang hendak mengggalang kekuasaan politik. Seperti halnya Adiwibowo, Gie juga
menggunakan kata revolusi[7]untuk
menyatakan pandangannya. Itu berarti dalam 60 tahun istilah PA dan 50 tahun
istilah MPA, keduanya dibarengi dengan revolusi.
Kini apakah ada revolusi baru di
akhir tahun 2014 atau 2015 di tangan dan dipikiran kritis para pencinta alam?
Rezim Jokowi Dodo secara resmi memiliki jargon Revolusi Mental dengan dua
varian[8],
tapi tak ada kontra-jargon atau revolusi tandingan, sebagai istilah baru kalangan
mahasiswa demonstran yang juga menggunakan unsur kosakata revolusioner. Apakah
MPA pernah memikirkan hal seperti ini, sebagaimana Adiwibowo dan Gie?
Pemahaman pada sejarah MPA secara
runtut hanya bisa dengan membaca tulisan, aktivitas, ideologi Gie, dan kemudian
menafsirkannya. Lima puluh tahun adalah waktu yang lama untuk sebuah
penafsiran. Meski belum cukup mendalam bila hanya dituliskan dalam beberapa
lembar saja untuk sebuah seminar yang hanya berlangsung
selama dua atau tiga jam.
Gie
dan Tionghoa Makassar
Gie seorang etnis Tionghoa, tapi terdepan dalam
keprihatinan terhadap nasib bangsa ini. Inilah yang membedakan dirinya dengan
mahasiswa Tionghoa di Makassar, yang sejak akhir tahun 80-an hingga 2014 tak
ada yang pernah eksis sebagai demonstran atau aktivis mahasiswa. Etnis Tionghoa
Jakarta lebih bebas menyuarakan ekspresinya di Jakarta daripada Makassar. Pasca
G30S PKI, Gie ikut menjadi demonstran yang turut mengakhiri legitimasi kuasa
Soekarno, namun pada konteks sama, justru di Makasssar terjadi pengganyangan
Cina[9].
Trauma atas pengganyangan Cina, mungkin bisa menjadi
alasan mengapa mahasiswa Tionghoa Makassar tidak ada yang pernah seberani Gie
dalam urusan nasib bangsa. Tionghoa Makassar dihubung-hubungkan pula dengan
kekuatan komunis yang dipasok dari konsulat Cina. Secara politik dan sosial,
kalangan Tionghoa Makassar membuat demarkasi pemukiman yang disebut Pecinan.
Gie dan keluarganya tidak tinggal di Jakarta dalam sebuah kompleks yang
eksklusif dengan kluster penghuni hanya sesama etnis. Gie adalah Tionghoa yang
bergaul dengan pribumi hingga di lorong-lorong kumuh.
Gie tetap eksis dengan nama orisinal dan tak
menggantikannya dengan nama lain, sebagaimana kakaknya, yang merubah nama dari
Soe Hok Djin menjadi Arief Budiman[10].
Gie menghadapi suatu perbenturan budaya di awal Orde Baru yang disebut
pembauran berupa pergantian nama-nama yang berbau China[11].
Arief Budiman mengistilahkan proses pergantian nama itu sebagai acculturation dan forced aculturation (akulturasi yang dipaksakan).
Integrasi dan Asimilasi
Tetap menggunakan nama Tionghoa atau
menggunakan nama lain merupakan persoalan yang dialami kubu Integrasi[12]
dan Asimilasi[13]. Meskipun
Gie tak merubah nama, ia justru bergabung pada kubu asimilasi yang bertujuan
menghilangkan sama sekali identitas nama dan budaya Tionghoa. Untung saja Gie
tak bergabung di kubu integrasi, karena kemudian Baperki oleh Soeharto dianggap
sebagai bagian (underbouw) dari PKI.
Ketua Baperki yang pro-integrasi bersama Oei Tjoe Tat, dipenjarakan tanpa melewati
pengadilan. Arief Budiman juga membuat pengakuan bahwa ia sama sekali tak
mengenal Siauw Giok
Tjhan[14],
ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).
Pergulatan dua doktrin ini yang pernah
dialami Gie, tak membuat dirinya menjadi terpisah dari aktivitas dengan
tokoh-tokoh penentang Soekarno. Semua tokoh tersebut berasal dari pribumi dan akademisi
asing. Tak seorangpun diantara mereka
dari etnis keturuan Tionghoa. Itu berarti Gie sudah melampaui dua doktrin utama
yang berkaitan dengan posisi terpatrisi antara Tionghoa dan pribumi.
Mereka adalah Soemitro
Djojohadikusumo (1917-2001)[15], Henk
Tombokan[16], Boeli
C.H Londa[17],
Jopie Lasut, Zainal Zakse (1938-1967)[18], Rosihan
Anwar (1923-2011)[19], Soedjatmoko
Mangoendiningrat (1922 – 1989)[20], Nugroho
Notosusanto ((1930-1985)[21], Ben Anderson[22], Soeripto
(1934-2010)[23], Yoga Sugama(1935-2013)[24], Soewarto[25], Fikri Jufri[26], dan Nono Anwar
Makarim. Putra Soemitro yakni Prabowo Subianto juga akrab dengan Gie.Kawan-kawan
pergaulan Gie yang menjadi bagian dari sejarah Indonesia sejak Soekarno,
Soeharto, Reformasi dan hingga sekarang, menunjukkan kualitas diri sang
Pencinta Alam itu.
Integrasi dan asimilasi ini
menjawab pula bagaimana sehingga kalangan Tionghoa Makassar mengalami
pengganyangan pada tahun 1965[27]
maupun di Jakarta pada kerusuhan Mei 1998.
Latar Pembentukan MPA
Meski MPA kini memiliki beragama pilihan
aktivitas luar ruang, namun saat itu Gie memilih mendaki gunung. Ia menghindari
terlibat dalam politik praktis. Penghindaran yang ia pilih yakni mendaki
gunung. Terhadap politik, ia sebut sebagai barang paling kotor, meski ia
memberi toleransi pada dirinya untuk kemudian terlibat pada suatu saat. Ia
seorang moralis yang memilih gunung sebagai tempat penenangan diri. Moralitas
yang ia hendak bangun di MPA karena disanalah bisa melakukan kontemplasi.
Pendirian MPA Fakultas Sastra UI
pada tahun 1964, berada di ujung Rezim Soekarno yang otoriter.Bukan hanya
akademisi, tapi juga klik militer ingin mengakhiri kekuasaan tersebut. Di saat
Gie menjadi bagian utuh dari kekuatan anti-Soekarno, maka saat itu pula MPA
berdiri. Tak ada catatan khusus Gie di tahun pembentukan MPA[28]
tersebut. Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran, Gie hanya membuat tiga
catatan saja. Alasan Gie mendirikan MPA justru dicatat oleh Daniel Dhakidae[29]:
“Soe Hok
Gie tidak saja memahami rahasia membikin pribadi terbaik, tapi dia berupaya
untuk senantiasamembongkar rahasia itu dan menyebarkannya dengan ikut
mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) pada awal tahun 1960-an, yaitu
rahasia yang begitu sederhana yaitu bertumbuh dalam alam terbuka. Dalam
tafsirannya, alam terbuka adalah gunung dan dia putuskan untuk naik gunung. Di
sana seluruh bumi membuka diri, kaki langit tertancap teguh di seputar dirinya
dan dia menatap kaki langit tanpa rintangan karena tidak ada yang lebih tinggi
dari puncak. Disana dia merasa bersih dan dia membersihkan dirinya.”[30]
Bagian lain dari motif
pembentukan Mapala, menurut Daniel Dhakidae adalah sikap keputusasaan, sehingga
memusatkan diri pada kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler seperti mendaki
gunung dan memimpin organisasi yang disebut sebagai Mapala, Radio Ampera, Radio
Universitas Indonesia, dan terakhir ikut mendirikan Grup Diskusi Universitas
Indonesia. Sikap keputusaan Gie, bersumber pada catatan yakni “Minggu-minggu
ini adalah hari-hari yang berat untuk saya, karena saya memutuskan bahwa saya
akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada
menyerah pada kemunafikan.”
Namun meski terasa adanya
keputusasaan, menurut Dhakidae, dia mempunyai pilihannya sendiri yakni menjadi
“manusia bebas”. Dhakidae mengemukakan bahwa berulang kali di dalam catatan
hariannnya dikatakan bahwa dalam situasi semacam ini hanya dua pilihan yang
bisa dibuat yakni menjadi apatis atau ikut arus.
Untuk mendaki gunung, Gie dan
kawan-kawannya meminta sumbangan, yang oleh Gie disebut mengemis. Pada
pendakian Gunung Slamet itu, Gie menyatakan bila terlalu banyak pertanyaan para
donor maka inilah jawabannya. “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami
katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya
dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai
tanah air Indonesiadapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti
pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”[31]
Bagian yang harus dikritisi dari
tulisan opini Gie ini, yakni dibalik alasan pendakian itu. Ia hendak
menaklukkan gunung Slamet, sebagaimana judul tulisannya di harian Kompas
tersebut. Kata ‘penaklukan’ seharusnya tak perlu terpakai untuk mereka
mencintai alam, di masa sekarang. Bila memang menaklukkan itu penting, berarti
gunung adalah sebuah obyek yang menjadi lawan, bukan sesuatu yang harus
dicintai. Kalau memang harus menjadi penakluk, maka cinta tak punya tempat lagi
di ujung-ujung tringulasi.
Ostaf al Mustafa, anggota Korps
Pencinta Alam Universitas Hasanuddin (KORPALA-UNHAS)
[1] Mapala FSUI didirikan pada tahun 1964, bertujuan mewadahi minat
mahasiswa FSUI yang senang kegiatan di alam bebas. Diresmikan di Bukit Ciampea
yang diikuiti oleh 30 peserta. Bukit kapur Ciampea Bogor ini kini dijadikan
sarana panjat tebing dan latihan TNI Angkatan Darat.
[2] Meski hanya hanya hidup singkat selama 26 tahun (1942-1969), tapi
bagian penting dari kehidupannya sebagai aktivis mahasiswa, demonstran, penulis
aktif, moralis, dan MPA dilewati dengan penentangan pada tirani dan
kediktatoran Soekarno dan Soeharto. Masa kemahasiswaannya berlangsung normal
selama tujuh tahun di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah Universitas Indonesia
(1962-1969). Tanggal dan bulan kelahiran berdekatan dengan kematiannya. Gie
lahir pada 17 Desember dan meninggal 16 Desember di tempat yang memang dia
kehendaki untuk mati yaitu di Gunung Semeru (3675 mdpl)
[3]Pradnya Paramita atau Prajnaparamita merupakan seorang devi (dewi)
dalam bodhisatwa yang berkaitan dengan kebijaksanaan yang sempurna, yang tentu
saja juga berhubungan dengan pengetahuan. Dewi ini dianggap telah mencapai
tingkatan kebijaksanaan tertinggi.
[4]Maulana, Koy Gandasuteja, Amin Sumardji, Ratnaesih, dan Edhi
Wuryantoro.
[5]Demokrasi Terpimpin(1959-1966) ini merupakan penyatuan kekuatan
Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kekuasaan
negara terpusat pada Soekarno. Pola ini ini juga dikembangkan di Rusia. Selama
era tersebut, kondisi rakyat dihadapkan pada pendapatan negara melalui ekspor
yang terus menurun, inflasi tinggi, dan korupsi makin mewabah di kalangan
birokrat dan militer. Gerakan Pembaharuan Indonesia (GPI) yang dipimpin Prof.
Soemitro membuat manifesto yang menolak Demokrasi Terpimpin. “Jelaslah sudah
bagi kita, bahwa istilah Demokrasi Terpimpin dipakai sebagai topeng belaka
justru untuk menindas dan menumpaskan asas-asas demokrasi sendiri….”
[6] Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) menandai habisnya era
Soekarno menuju Soeharto. Meski Supersemar segelap masalahnya dengan G30S PKI,
tapi dua peristiwa itu dengan berbagai versi, menandai pergantian datangnya
Orde Baru (1966-1998).
[7]“Dalam politik tak ada moral. Bagiku sendiri, politik adalah barang
paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat dimana kita tak dapat
menghindar diri lagi, maka terjunlah. Kadang-kadang saat ini tiba, seperti
revolusi terdahulu. Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur
ini.” (lihat : Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang Demonstran. LP3S. 2002: 121)
[8]Sekretaris Komisi Hubungan
Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Ordo Jesuit
Romo Benny Susetyo, aktivis Setara Institute sekaligus Tim Sukses Jokowi
menuliskan istilah Revolusi Mental di harian Sindo, Sabtu (10/05/2014). Di hari
yang sama, opini Joko Widodo berjudul Revolusi Mental
juga dimuat di harian Kompas. Versi Romo Benny tentang Revolusi Mental berasal
dari Romo Mangunwijaya yakni, “Pengertiannya merujuk pada adanya revolusi
kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan
bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif menuju
positif.” Pandangan Jokowi tentang Revolusi Mental yakni Dalam melaksanakan
revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan
Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang
berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan
”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”.
[9]Tanggal hitam dalam sejarah negara kita. 30 September 1965, hari
Gestapu di Makassar lewat dengan tenang. Berminggu-minggu lamanya Pemuda
Khatolik menjaga gereja-gereja dan biara-biara, berhubung adanya banyak
desas-desus mengenai balas dendam yang direncanakan kaum komunis. Tanggal 10
Nopember, kemarahan rakyat meletus melawan penduduk Tionghoa dan konsulat
Tionghoa. Toko-toko , rumah-rumah diserang dan dihancurkan. Hanya mereka yang
terang-terangan dapat membuktikan kekristenannya dan kewarga-negaraannya, luput
dari nafsu penghancur itu. (Lihat : Dr. M.P.M Muskens Pr. Sejarah Katholik
Indonesia. Jakarta. 1973 : 460)
[10] Lahir di Jakarta, 3 Januari 1941. Aktivis 66 dan terkenal dengan
kampanye Golput (Golongan Putih) pada Pemilu 1973. Semasa mahasiswa menjadi
penanda tangan Manifesto Kebudayaan (17/08/1963) yang menentang Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia).
[11] “Sebetulnya saya tidak setuju. Adik saya (Soe Hok Gie almarhum)
juga tidak setuju. Pada tahun 1967, soal pembauran dan pergantian nama itu
memang tidak dipaksa betul, tetapi diimbau. Tetapi, akhirnya kami ganti nama
juga karena kami khawatir rekan-rekan lain ikut-ikutan tidak mau ganti, dan
justru akan didiskriminasi. Kami dulu sedikitnya agak dikenal oleh masyarakat.
Saya sendiri tidak terlalu peduli dengan nama, saya malah minta tolong istri
saya yang memilih nama untuk saya. Adik saya juga menganggap pergantian nama
ini tidak prinsipiil. Yap Thian Hiem (almarhum) memang mengatakan dia tidak mau
mengganti nama karena itu soal hak asasi manusia. (Majalah D&R, Sabtu
25/07/1998, Edisi 21/03 - 25/Juli/1998)
[12]Doktrin Integrasi menurut
Arief Budiman yakni memperjoangkan keaneka-ragaman budaya atau
“multiculturalism”. Doktrin Integrasi meminta supaya orang-orang Cina diakui
sebagai salah satu suku, disamping suku-suku yang sudah ada di Indonesia.
Doktrin dipelopori oleh Siauw Giok Tjhan, ketua
Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki inilah yang kemudian mendirikan
Universitas Trisakti, yang sebelumnya bernama Universitas Res Publika.
Soekarno mendukung doktrin ini pada tahun 1963 dengan menerima adanya etnis
Tionghoa di Indonesia.
[13]Doktrin asimilasi yakni
meleburkan diri ke dalam budaya Indonesia dan menghapus ke-Cinaan. Pendukungnya
antara lain P.K. Ojong, Yap Thiam Hien, Oei Tjin San. Politikus Katholik juga
ikut bergabung yakni Harry Tjan Silalahi dan Onghokham. Kubu penganut doktrin
ini yakni LPKB atau Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa dibawah pimpinan
Kristoforus Sindhunata awal tahun 1960-an. Gie ikut bergabung di LPKB.Sindhunata merupakan perwira angkatan laut keturunan Cina.
[14] Arief Budiman menulis
khusus tentang tokoh Baperki ini dengan judul, SIAUW GIOK TJHAN YANG TIDAK SAYA
KENAL (Sumber : temu_eropa@yahoogroups.com)
[15]Dikenal sebagai begawan ekonomi. Kecerdasannya terlihat ketika di
usia 33 tahun sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian RI dan menjadi
bagian pendiri Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Mantan besan Soeharto
ini merupakan ayah dari Mantan Danjens Kopassus dan Capres pada Pilpres 2014.
[16] Tokoh gerakan Permesta (Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat
Semesta disingkat Permesta) yang pertama berpusat di Makassar dan kemudian di
Manado. Dideklarasikan oleh tokoh sipil dan militer pada hari Sabtu, 2 Maret 1957 yang dikomandoi oleh Letkol
Ventje Sumual. Henk Tombokan pernah di penjara bersama Andi Muis dalam kasus
pemberontakan Permesta. Andi Muis kemudian dikenal sebagai Pakar Komunikasi
Hukum Indonesia dari Universitas Hasanuddin.
[17] Anggota Gemsos (Gerakan Mahasiswa Sosialis). Gemsos berdiri pada
hari Jumat21 Oktober 1955, berideologi Sosialisme Kerakyatan.
[18] Anggota Pers Mahasiswa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia).Ia ditetapkan sebagai Wartawan Pahlawan Ampera. Ia dibunuh oleh
pasukan pengawal istana atau Cakrabirawa (sekarang : Paspampres) akibat tusukan
sangkur dan kekerasan menggunakan popor senjata, pada peringatan gugurnya
Pahlawan Revolusi, Senin (03/10/1966).
Sebelum menjadi anggota Gemsos, ia bergabung dengan IPPI (Ikatan Pemuda
Pelajar Indonesia).
[19]Ia perpaduan antara wartawan, sastrawan, dan budawan, meskipun lebih
terkenal sebagai tokoh pers Indonesia.Ia salah seorang pendiri Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta.
[20] Dalam aktivitas politik, pada tahun 1952, bergabung dengan pers
beraliran sosialis dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tokoh yang dipanggil
Bung Koko aktif mengeritik Presiden Soekarno ketika semakin otoriter.
[21]Bridjen TNI (Purn.) Prof. Dr.Nugroho Notosusanto, seorang militer
yang juga sastrawan. Karyanya berupa cerpen Hujan Kepagian, menandai pencatatan
kisah heroik perang revolusi tapi tidak seperti penulisan sejarah. HB Yassin
menyebut dirinya sebagai Sastrawan 66. Jabatan yang pernah diembannya pasca
pemberlakukan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus)
yakni Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Ia yang membuat skenario
sebuah film tontonan wajib era Orba berupa Pemberontakan G30S PKI.
[22]Benedict Richard O'Gorman Anderson, profesor emeritus dalam bidang
Studi Internasional Universitas Cornell. Ia terkenal karena bukunya Imagined
Communities membahas kebangkitan nasionalisme. Buku tersebut diterjemahkan
menjadi Komunitas-Komunitas Terbayang (2002) oleh Insist dan Pustaka Pelajar.
Pertemuan Anderson dengan Gie dicatat oleh Salim Said, yang juga ikut hadir.
Mereka membahas Paper yang ditulis Anderson bersama Ruth Mcvey. Paper itu
menyatakan Gestapu merupakan pertemuan kepentingan PKI dan perwira di Jawa
Tengah yang tak puas kepada para Pimpinan Angkatan Darat. Mereka bertemu di
rumah Gie, Jalan Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada tahun 1967. (Lihat : Salim
Said. Dari Gestapu ke Reformasi : Serangkaian Kesaksian. Mizan. Jakarta . 2013:
[23]Mayor Jenderal Soeripto,
alumnus Akademi Militer Nasional (AMN). Ketika berpangkat Brigjen menjabat
Kepala Staf Komando Cadangan Strategis (Kostrad), lalu Pangdam Bukit Barisan.
Ia kemudian menjadi Panglima Kostrad, berpangkat Mayjen.Ada juga Soeripto yang
kedua, seorang tokoh yang anti-PKI, semasa masih mahasiswa. Bahkan selama 7
tahun (1957-1964) menghadapi kelompok mahasiswa komunis yang disebut
Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). Ia kemudian bergabung dengan
militer di Kodam VI Siliwangi untuk menghadang laju PKI. Pengganyang Cina di
Bandung yang dipicu pembukaan Poros Peking Jakarta oleh Soekarno, dihubungkan
dengan dirinya, Jumat (10/05/1963). Ia dihukum dua tahun penjara oleh PN
Bandung. Kini masih aktif dalam kajian inteljen.Julukan untuknya yakni Inteljen
Tiga Zaman. Di masa mudanya, ia pengusung Sosialis Syahrir. Kini aktif di
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Soeripto ini tak
diberitakan bertemu Gie, namun dengan aktivitasnya yang anti-PKI, pasti ada
jalur dimana mereka berpapasan dalam satu kepentingan.
[24]Jenderal TNI Purnawirawan Yoga Sugama, salah seorang dari empat
jenderal kepercayaan Soeharto. Jabatan semasa Orba yakni Wakil Ketua G-I Koti
(1966-1967), Direktur Intelijen Strategi Pertahanan dan Keamanan (1967-1968),
Wakil Kepala Bakin (1968), dan Kabakin (1968-1969).
[25] Mayor Jenderal Soewarto memimpin lembaga SESKOAD (1961-1965) ketika
bertemu Gie. Sebelumnya SESKOAD bernama Sekolah Staf Komando Angkatan Darat
(SSKAD). Perubahan SSKAD menjadi SESKOAD terlaksana pada Senin (2/02/1961).
Soewarto kemudian digelari Bapak SESKOAD.
[26]Fikri Jufri, lahir Jakarta, 25 Maret 1936. Di masa Gie, ia aktif
sebagai reporter Reporter Harian Kami(1967-1968).Liputan pertamanya di awal Orba (1967) tentang kerusuhan di
kawasan Kota, Jakarta. Ia segera menghubungi kantor redaksi Harian KAMI. Berita
kerusuhan yang ia laporkan, esoknya dimuat di halaman satu.
[27]Walaupun demikian, sejarah
mencatat pula bahwa Makassar adalah kota pertama di Indonesia yang menjadi
lokasi "pengganyangan orang-orang China atau keturunan China (10 November
1965). Tindakan rasialis warga Makassar itu untuk melampiaskan kemarahan mereka
pada peristiwa G30S dan terhadap poros Jakarta-Beijing yang dibangun
pemerintahan Orde Lama. Sejak itu, kota Makassar menjadi lokasi paling sering
terjadi kerusuhan rasial dengan "pengganyangan" orang-orang Tionghoa
dan atau keturunannya. Penyebabnya, kemungkinan terbesar, adalah
"kecemburuan sosial" karena dampak politik penjajahan yang
menempatkan etnis Tionghoa berbeda dengan masyarakat pribumi. Maka, dengan
perlakuan khusus pemerintah kolonial tersebut, orang-orang Tionghoa memperoleh
kesempatan yang lebih luas untuk membuka usaha, di mana setiap kesempatan kerja
yang mereka ciptakan memprioritaskan sesamanya etnis China. Memang ada kesan di
kalangan warga Makassar, tidak ada orang China yang miskin. Mereka, di masa
lalu, sangat besar menguasai perekonomian daerah/nasional sehingga tingkat
kesejahteraannya memancing kecemburuan sosial. (Lihat : M. Fahmi Myala dalam
China Makassar, Selayang Pandang, Kompas, Senin, (10/09/2007)
[28] Dalam Catatan Harian Seorang Demonstran (2004 : 118-122), Gie hanya
menulis tiga catatan pada Kamis (28/02/1964), Sabtu (16/03/1964), dan Jumat
(20/03/1964). Ketiga tulisan tersebut, tak ada yang membahas tentang gunung
ataupun pencinta alam. Kritikannya pada Kamis itu yakni “Apakah yang lebih
tidak adil selain daripada mendidik sebagian kecil anak-anak orang kaya dan
membiarkan rakyat miskin tetap bodoh?” Masih di hari yang sama Gie menyatakan
tentang bagaimana ia condong ke kiri dan memilih bacaan-bacaan pihak komunis.
“Alasan-alasannya lebih termakan untuk diriku daripada golongan
lawan-lawannya.” Catatan hari Sabtu, “Presiden adalah jabatan kenegaraan, Panglima
Tertinggi Angkatan Perang adalah jabatan ketentaraan dan Revolusi adalah
jabatan keagamaan. Menurut Ong, revolusi kini sudah menjadi agama baru.
Siapa-siapa yang dicap anti revolusi, berarti anti kebenaran.” Ong yang
dimaksud Gie yakni Ong Hok Ham (1933-2007), seorang sejarawan dan cendekiawan
Indonesia. Pada hari Jumat, Gie menulis kritikan pada Rosihan Anwar yakni
manusia-manusia tipe Rosihan Anwarlah yang menjadi ciri khas daripada generasi
45. Mereka berpikir bahwa mereka paling hebat. Dari grup mereka ini (sisa-sisa
PSI) sudah terlalu senang dan terpandang, borjuis, sehingga mereka menjadi
pengecut. Sosialisme bagi mereka adalah slogan-slogan dan lip service saja.
“Musuh kami adalah kemiskinan dan kebodohan” adalah slogan yang paling kosong
yang mereka dengungkan. Itulah sebabnya PSI telah kalah dan tidak disenangi
rakyat.
[29]Doktor lulusan Cornel University ini lahir di Flores, Rabu, 22
Agustus 1945.Ia bekerja sebagai redaktur di Majalah Prisma LP3S. LP3S inilah
yang kemudian mengumpulkan catatan Gie hingga kemudian menjadi buku. Pembukuan
catatan itu dilakukan ketika dirinya menjabat menjadi Ketua Dewan Redaksi (1979-1984), dan
menjadi Wakil Direktur LP3ES (1982-1984). Catatan Harian Seorang Demonstran
pada Mei 1983.
[30] Bagian pengantar pada Soe Hok Gie, Catatan Harian Seorang
Demonstran, Jakarta : LP3S, 1983.
[31] Soe Hok Gie, “Menaklukkan Gunung Slamet,” dalam Kompas, Kamis
(14/09/1967)