Minggu, 13 September 2015

Paradigma Kritis Perkembangan Media Baru dan Kasus Kebebasan Berekspresi

Paradigma Kritis Perkembangan Media Baru[1] dan Kasus Kebebasan Berekspresi[2]

Oleh : Ostaf al Mustafa[3]

       Di era Old Media[4] (Media Lama, selanjutnya disingkat ML) lebih mudah untuk melakukan analisis wacana kritis dan analisis teks media, karena hamparan patron baku yang tak berubah-ubah. Semua kemudahan itu hampir lenyap di era New Media[5] (media baru, selanjutnya disingkat MB), karena basis teori untuk illiteracy berubah cepat. Cara terbaik memahami MB yakni melalui New Media Literacy[6] (NML). Dengan NML, maka seseorang bisa dikatakan melek internet bukan karena kecanggihan atau keterbaruan piranti  keras dan piranti  lunak, tapi bagaimana menggunakan untuk kepentingan sosial kultural[7] dan pengembangan isu ideologis[8].

       Teori tentang MB, dimulai pada tahun 1990-an[9]. Perbedaan utama antara ML dan MB dirinci oleh David Holmes ketika menjelaskan perubahan dari Medium Theory (MT) menuju Second Media Age (SMA). MT berkaitan substansi perubahan media, yang diteliti oleh Marshall McLuhan, penemu istilah media, dalam Electronic Revolution: Electronic Effects of New Media, yang ditujukan pada anggota-anggota the American Association for Higher Education di Chicago. 

         Istilah MB sudah dikembangkan oleh McLuhan, berkaitan dengan revolusi elektronik di tahun 1950-an di Amerika. Waktu itu, ia melihat fakta betapa para tenaga pendidik merupakan sosok sosok yang salah tempat di dunia ini, karena tak bisa berbuat banyak di tempat mereka tumbuh dan berkembang. Bagi McLuhan, ruang kelas harusnya tanpa tembok ketika telekomunikasi dan televisi membawa struktur informasi simultan ke masyarakat elektronis. Bila di era internet,  televisi disebut ML, tapi di tahun 1950-an, McLuhan menyebutnya sebagai MB. Televisi digital sekarang adalah bagian dari MB.

            SMA adalah perubahan dari konsep McLuhan dalam tinjauan media global (global village) dan konvergensi (keterhubungan antara sejumlah medium). Disini terjadi perubahan dari broadcast (penyiaran) ke bentuk bentuk-bentuk networked (keberjaringan) dalam media elektronik. Terjadi transformasi saja dari pesan internal yang kaku ke bentuk-bentuk ke elektronis dari media. Istilah broadcast kini dipakai oleh netizen dalam bentuk pendistribusian secara copas mengenai berita atau informasi dari individu ke semua kontak BBM, WA, Line dan sebagainya.

       Kalangan teoritis dari SMA, lebih lanjut dijelaskan oleh Holmes. Teoritis dari SMA berargumen bahwa audiens dan konsumen tidak menoleransi penawaran pasif  televisi,  lalu segera melakukan partisipasi aktif dalam jaringan dan mendesentralisasikan medium.

        Ensiklopedia tersebut bahwa di akhir 1990, SMA menjadi sesuatu yang ortodoks yang melemahkan teori MB dan perkembangan studi internet dan siber. Teori MB memusatkan perhatian pada ontologi digital media untuk mendefenisikan karakteristik yang dapat menggantikan kesejarahan SMA.

Pemahaman terhadap kalang kabut istilah MB, harus dimulai dari suatu sikap paradigma[10] kritis[11]. Sikap tersebut dapat dilalui dengan memperbanyak perbandingan antara setiap teks. NWL tetap menjadi saran teratas dalam paradigma kritis. Douglas Kellner[12] dalam New Media and New Literacies: Reconstructing Education for the  New Millennium menawarkan cara multiple literacies[13] pada masyarkat multikultural. Rekonstruksi pendidikan merupakah terpenting dalam MB. Kellner mengacu pada Marshall McLuhan[14] (1961 dan 1964), Walter Ong[15] (1988), Dewey[16] (1960-an), Ivan Illich[17] (1970-an) , dan Paolo Freire[18]. Mereka melakukan pendidikan radikal dan reformasi sosial. Inilah yang tidak terjadi di Indonesia, meski telah ada jargon sumir mengenai Revolusi Mental.









[1] Paradigma Kritis Perkembangan Media Baru, diulas khusus dalam rangkaian teori yang berkaitan dengan ideologi, pendidikan dan reformasi sosial.

[2] Kasus Kebebasan Berekspresi diulas terpisah dalam dua opini yang dimuat di Tribun Timur. Kebebasan Berpendapat jauh lebih luas implikasinya dari Kebebasan Berpendapat. Tiga pendemo dari Badan Eksekutif Mahasiswa Makassar (BEM) menjadi tersangka di Polda Sulselbar, karena ada laporan dari tiga pengacara Danny Pomanto, yang meneriakkan, “anjing...”

[3] Ostaf al Mustafa, Koordinator Data, Komunikasi, dan Pendidikan pada Komite Kebebasan Berekspresi (KORANKIRI) dan anggota Dewan Penasehat Masika ICMI Sulsel.

[4] ML secara konvensional diarahkan pada media yang porsi interaktifnya kurang dan lebih banyak satu arah, seperti koran, televisi, dan radio. Tidak sembarang waktu pemirsa bebas berdialog dan menyampaikan pesan, selain pada jam  atau program yang sudah ditentukan. Meski kini ketiga media konvensional itu juga telah menggabungkan pula internet, tapi hanya sebagai unsur pelengkap pembaruan informasi.

[5] Istilah MB secara umum berkaitan dengan teknologi dan teknologi komunikasi (Chen, Wu, Wang, 2011 & Wang, 1984) atau perubahan-perubahan besar dalam produksi media, produksi, distribusi dan penggunaan.  (Lister, Dovey, Giddings, Grant, & Kelly, 2003, p. 13). Mayoritas peneliti  cenderung mendefenisikan MB dengan memusatkan perhatian pada karakteristik teknis  termasuk digitality (presentasi yang menampilkan angka), hypertextuality, dispersal, virtuality, modularity, multimodality, hybridity, interactivity, automation, and variability. (Anderson & Balsamo, 2008; Lister et al., 2003; Manovich, 2001; Nichols, 2008; Pratt, 2000). Beberapa peneliti mulai mengarahkan pada karakteristik sosial kultural dari MB. Secara khusus ditujukan empat poin, (a) setiap medium memiliki bahasa yang unik; (b) pesan-pesan media telah dikonstruksi; (c) media sudah dilekatkan oleh nilai dan ideologi; dan (d) media melayani berbagai tujuan. (Aufderheide & Firestone, 1993; Blau, 2004; Ito et al., 2008; Newby, Stepich, Lehman, & Russell, 2000; OReilly, 2005; Pink, 2005; Pungente, Duncan, & Andersen, 2005). As suggested by Gee (2001), Jenkins (2006) and Lievrouw & Livingstone (2006). Karakterististik-karakateristik sosial kultural lebih diutamakan daripada isu-isu teknis dalam konteks era MB abad 21. Lihat : Understanding New Media Literacy: An Explorative Theoretical Framework (hal. 160) oleh  Tzu-Bin Lin, Jen-Yi Li, Feng Deng and Ling Lee pada http://www.ifets.info/journals/16_4/13.pdf. Diunduh pada 10 Maret 2015). Makalah ini juga membahas secara detail mengenai MB dari segi sosial kultural.

[6] Literacy berarti cara pemahaman atas sebuah teks. Orang yang ‘kram logika’ pada sebuah teks mengalami kondisi illiteracy. Literacy terbagi atas dua yakni versi klasik (tradisional) dan MB. Tzu-Bin Lin, Jen-Yi Li, Feng Deng dan Ling Lee, memastikan bahwa versi klasik itu berkaitan dengan ML. Awal dari media literacy pada pertengahan abad 20 ketika Leavis & Thompson (1933) mulai mengajar mahasiswa tentang cara membedakan antara the high culture (kebudayaan tinggi) dan the popular culture (kebudayaan populer melalui pendidikan di UK (United Kingdom atau Inggris). Di masa awal tersebut, malah dilakukan promosi kebudayaan tinggi untuk menghadapi kebudayaan populer  di era media cetak (Buckingham, 2003). Di tahun 50-an, media literacy diperkenalkan di Amerika Serikat  dengan penguatan dampak media massa seperti radio dan televisi pada kehidupan sehari-hari maupun dalam (Schwarz, 2005). Kecenderungan umum dari perkembangan literasi media sebagaimana halnya literasi media baru adalah pentingnya literasi media dikembalikan pada agenda pendidikan ketika teknologi media baru justru mengakibatkan kecemasan kolektif dalam masyarakat. (Lin, 2010). Pemunculan MB juga meningkat di berbagai negara. Ketertarikan pada literasi media berbeda di berbagai negara Asia Timur China (termasuk Hong Kong), Taiwan, Japan dan Korea di akhir 1990-an (Cheung, 2009) berasal dari tumbuhnya teknologi baru, internet, mengakibatkan fenomena  cyber cafe atau kafe internet. Kelahiran internet adalah tonggak dalam perkembangan literasi media karena mengubah seluruh lansekap media dan memulai debat pada pendekatan berbeda pada literasi media. (Gauntlett, 2011). Ini juga menjadi titik awal untuk mengajukan kerangka kerja yang cocok untuk media konvensional seperti televisi, surat kabar dan radio maupun MB seperti internet dan teknologi Web 2.0.

[7] UU ITE Pasal 27 ayat 3 justru menjadi penghalang bagi kepentingan sosial kultural tersebut. Ini terlihat pada kasus Muhammad Arsyad dan Fadli Rahim yang mendapat pendampingan nonlitigasi dari Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB atau KORANKIRI). Muhammad Arsyad dipidanakan oleh Kadir Halid, yang di Pilwali Makassar 2013 menjadi Calon Wakil Walikota Makassar. Fadli Rahim direpresi oleh kekuasaan asimetris dari Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo hingga divonis delapan bulan penjara di PN Gowa. Keduanya mengekspresikan pendapatnya melalui status BBM dan percakapan grup Line.

[8] Pemihakan kepada warga pinggiran atau masyarakat terkucil, sebagaimana yang akan dilakukan dalam Konfrensi Warga Pinggiran oleh IDEC adalah cara penguatan isu ideologis. Konfrensi dilakukan dalam tatap muka, tapi beberapa hal bisa disampaikan ke netizen berupa link berita atau video juga opini berkaitan dengan isu demikian.

[9] Encyclopedia of Communication Theory dari Sage Reference merinci bahwa teorisasi MB sebenarnya sudah setua komunikasi itu sendiri, meski teorinya diformalkan di tahun 1990-an. Akselerasi difusi The accelerated diffusion of digital media from telecommunications and information technology sectors in the 1990s has led media and communication studies to be defined by new objects of investigation. New forms of media demand exploration in their own right at the same time as the remediation of traditional media becomes open to investigation. Lihat : New Media Teory oleh David Holmes, http://www.sagepub.com/edwards/study/materials/reference/77593_10.2ref.pdf. Diakses pada 10 Maret 2015.

[10] Paradigma berasal dari abad pertengahan di Inggris, kata serapan dari bahasa Latin pada tahun 1483 yaitu paradigma yang berarti suatu model atau pola. Pada abad 15, dinyatakan berasal dari bahasa Latin yakni paradeigma yang berarti contoh atau paradeiknunai, yang berarti menunjukkan sisi lain. Deiknunai sendiri berarti mempertunjukkan (Lihat : Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation).

Bahasa Yunani mengurai paradeigma dari para dan deiknumi yang berarti untuk "membandingkan", "bersebelahan", dan melampaui (para) maupun memperlihatkan atau mempertunjukkan (deiknumi). Penggunaan pertama paradeigma, sebagaimana pada karya Plato, Timaus, mengartikan sebagai pola atau model dari Demiurge (dewa) ketika menciptakan kosmos. Timaeus merupakan dialog Plato yang ditulis 360 SM.

Thomas S. Kuhn (1922 - 1996), filsuf dan sejarawan sains mengatakan dalam, The Structure of Scientific Revolutions (1962), mengatakan sains tidak berkembang dari metode ilmiah, menurutnya ada dua fase fundamental perkembangan sains. Pertama melalui paradigma (kumpulan dari kepercayaan yang sudah diterima). Ketika fondasi paradigma melemah dan teori baru maupun metode ilmiah menggantikannya, maka selanjutnya menuju fase berikutnya, ketika itu penemuan ilmiah mendapatkan tempatnya. Kuhn percaya perkembangan ilmiah berasal dari satu paradigma ke paradigma lainnya yang tidak memiliki alasan logis.  (Lihat : Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation).

[11] Critical sebagai kata sifat, seperti pada critical paradigm berarti sikap kritisme dan ketidak-setujuan, berkaitan dengan penilaian kritik terhadap buku, film, seni, dan sebagainya. Penilaian baik dan buruk terhadap sesuatu, juga bagian dari sikap kritis. Lihat : http://www.merriam-webster.com/dictionary/critical   Diakses pada 17.50 WITA, Jumat (13/03/2015).

[12] Kellner berkonsentrasi pada pendidikan dan multikulralisme. Makalah di atas sudah pernah dibahas pada  dan konvensi Philosophy of Education Society di Toronto 1 April 200. Makalah di atas diskusikan kembali pada Oktober 2000 konferensi PacBell/UCLA dalam konteks informational literacy juga pada pertemuan the California Association for the Philosophy of Education (CAPE) di UCLA Amerika.

[13] Multiple Literacies diarahkan pada tantangan beragam dari MB dan teknologi. Ia masih peduli pada print literacy, yang tidak sepenuhnya meninggalkan kertas dan cetakan. Baginya hal itu dapat merekonstruksi pendidikan pada masyarakat multikultural yang sudah mengenal teknologi tinggi dan maupun budaya global.

[14] McLuhan (1911-1980) filsuf teori komunikasi dari Kanada dan intelektual kenamaan. Medium is message (medium adalah pesan) adalah istilah yang paling terkenal dari dirinya yang dimuat dalam Medium is Message : An Inventory of Effect (1967) yang terjual jutaan kopi. Ia juga membahas istilah Global Village (Desa Global). Ia juga mengatakan klise merupakan tindakan yang membius atau memati-rasakan segala efek. Sikap klise  inilah yang kini menjangkiti mayoritas netizen.

[15] Walter Jackson Ong (1912-2003) seorang Pendeta Jesuit dan Profesor Sastra Inggris, sejarawan kultural dan agama, juga filsuf. Pusat perhatiannnya pada transisi dari orality (budaya lisan) ke literasi yang berpengaruh pada budaya dan kesadaran manusia. Di Indonesia sosok pendeta Jesuit yang terkenal yakni Romo Mangun Wijaya maupun Frans Magnis Suseno. Keduanya juga didukung oleh Kompas dalam menyampaikan gagasannya.

[16] John Dewey (1859—1952) filsuf Amerika, aktivis terkemuka dalam gerakan Georgist, dan reformis sosial. Ia mengatakan profesionalisasi pengajaran adalah layanan sosial. Kalimat terkenal dari dirinya yakni, “Demokrasi dan satu yang paling utama yakni etis idel kemanusiaan, bagi saya itu sinonim.”

[17] Ivan Illich (1926 –2002), seorang filsuf Austria, pendeta Katholik Roma, dan kritikus sosial yang keras pada budaya Barat. Dia terkenal dengan ide Masyarakat tanpa Sekolah (Deschooling Society, 1971). Ia juga memberikan solusi tentang apa yang akan terjadi setelah adanya Masyarakat tanpa Sekolah, yang ditulisnya dalam After Schooling, What (1973). “Kita dapat menghilangkan sekolah dan meniadakan sekolah dalam budaya.” Anehnya kini dalam pendidikan berbasis non-kapitalis masih menggunalan istilah sekolah seperti home schooling. Ia melawan apa yang kini disebut sebagai pendidikan kapitalis, yang disebut sebagai pendidikan pasar bebas. Pendidikan ala pasar bebas kini terjadi dalam bentuk BHMN dan BHP pada universitas negeri.
  
[18] Paulo Reglus Neves Freire (1921 –1997), pakar pendidikan Brazil dan filsuf. Ia mengajukan suatu pedagogi yang membuat hubungan baru antara murid, guru, dan sosial yang disebut Pedagogi Kritis. Ia mengajukan Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppresed, 1970) dan istilah Budaya Bisu (Culture of Silence).  Freire percaya bahwa dalam sistem relasi sosial dominan akan menciptakan pencitraan diri yang bisu, tertekan, dan negatif pada mereka yang tertindas. Kondisi ini terjadi di Gowa dalam kasus Fadli Rahim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar