Oleh : Ostaf
al Mustafa[3]
Di era Old Media[4]
(Media Lama, selanjutnya disingkat ML) lebih mudah untuk melakukan analisis
wacana kritis dan analisis teks media, karena hamparan patron baku yang tak
berubah-ubah. Semua kemudahan itu hampir lenyap di era New Media[5]
(media baru, selanjutnya disingkat MB), karena basis teori untuk illiteracy berubah cepat. Cara terbaik
memahami MB yakni melalui New Media Literacy[6]
(NML). Dengan NML, maka seseorang bisa dikatakan melek internet bukan karena
kecanggihan atau keterbaruan piranti
keras dan piranti lunak, tapi bagaimana
menggunakan untuk kepentingan sosial kultural[7]
dan pengembangan isu ideologis[8].
Teori tentang MB, dimulai pada tahun 1990-an[9].
Perbedaan utama antara ML dan MB dirinci oleh David Holmes ketika menjelaskan
perubahan dari Medium Theory (MT) menuju
Second Media Age (SMA). MT berkaitan
substansi perubahan media, yang diteliti oleh Marshall McLuhan, penemu
istilah media, dalam Electronic Revolution: Electronic Effects of New Media, yang ditujukan pada
anggota-anggota the American Association for Higher Education
di Chicago.
Istilah
MB sudah dikembangkan oleh McLuhan, berkaitan dengan revolusi elektronik di tahun
1950-an di Amerika. Waktu itu, ia melihat fakta betapa para tenaga pendidik
merupakan sosok sosok yang salah tempat di dunia ini, karena tak bisa berbuat
banyak di tempat mereka tumbuh dan berkembang. Bagi McLuhan, ruang kelas
harusnya tanpa tembok ketika telekomunikasi dan televisi membawa struktur
informasi simultan ke masyarakat elektronis. Bila di era internet, televisi disebut ML, tapi di tahun 1950-an,
McLuhan menyebutnya sebagai MB. Televisi digital sekarang adalah bagian dari
MB.
SMA
adalah perubahan dari konsep McLuhan dalam tinjauan media global (global
village) dan konvergensi (keterhubungan antara sejumlah medium). Disini terjadi
perubahan dari broadcast (penyiaran) ke bentuk bentuk-bentuk networked
(keberjaringan) dalam media elektronik. Terjadi transformasi saja dari pesan
internal yang kaku ke bentuk-bentuk ke elektronis dari media. Istilah broadcast
kini dipakai oleh netizen dalam bentuk pendistribusian secara copas
mengenai berita atau informasi dari individu ke semua kontak BBM, WA, Line dan
sebagainya.
Kalangan
teoritis dari SMA, lebih lanjut dijelaskan oleh Holmes. Teoritis dari SMA berargumen bahwa audiens dan
konsumen tidak menoleransi penawaran
pasif televisi,
lalu
segera melakukan partisipasi aktif dalam jaringan dan mendesentralisasikan
medium.
Ensiklopedia tersebut bahwa
di akhir 1990, SMA menjadi sesuatu yang ortodoks yang melemahkan teori MB dan
perkembangan studi internet dan siber. Teori MB memusatkan perhatian pada
ontologi digital media untuk mendefenisikan karakteristik yang dapat menggantikan
kesejarahan SMA.
Pemahaman
terhadap kalang kabut istilah MB, harus dimulai dari suatu sikap paradigma[10]
kritis[11]. Sikap
tersebut dapat dilalui dengan memperbanyak perbandingan antara setiap teks. NWL
tetap menjadi saran teratas dalam paradigma kritis. Douglas Kellner[12] dalam New Media and New Literacies: Reconstructing Education for the New Millennium menawarkan cara multiple literacies[13]
pada masyarkat multikultural. Rekonstruksi pendidikan merupakah terpenting
dalam MB. Kellner mengacu pada Marshall McLuhan[14] (1961 dan
1964), Walter Ong[15] (1988), Dewey[16] (1960-an), Ivan Illich[17]
(1970-an) , dan Paolo Freire[18].
Mereka melakukan pendidikan radikal dan reformasi sosial. Inilah yang tidak
terjadi di Indonesia, meski telah ada jargon sumir mengenai Revolusi Mental.
[1]
Paradigma Kritis Perkembangan Media Baru, diulas khusus dalam rangkaian teori
yang berkaitan dengan ideologi, pendidikan dan reformasi sosial.
[2]
Kasus Kebebasan Berekspresi diulas terpisah dalam dua opini yang dimuat di
Tribun Timur. Kebebasan Berpendapat jauh lebih luas implikasinya dari Kebebasan
Berpendapat. Tiga pendemo dari Badan Eksekutif Mahasiswa Makassar (BEM) menjadi
tersangka di Polda Sulselbar, karena ada laporan dari tiga pengacara Danny
Pomanto, yang meneriakkan, “anjing...”
[3] Ostaf al
Mustafa, Koordinator Data, Komunikasi, dan Pendidikan pada Komite Kebebasan
Berekspresi (KORANKIRI) dan anggota Dewan Penasehat Masika ICMI Sulsel.
[4] ML secara
konvensional diarahkan pada media yang porsi interaktifnya kurang dan lebih
banyak satu arah, seperti koran, televisi, dan radio. Tidak sembarang waktu
pemirsa bebas berdialog dan menyampaikan pesan, selain pada jam atau program yang sudah ditentukan. Meski
kini ketiga media konvensional itu juga telah menggabungkan pula internet, tapi
hanya sebagai unsur pelengkap pembaruan informasi.
[5]
Istilah MB secara umum berkaitan dengan teknologi dan teknologi
komunikasi (Chen, Wu, Wang, 2011 & Wang, 1984) atau perubahan-perubahan besar dalam produksi media, produksi, distribusi
dan penggunaan. (Lister, Dovey, Giddings, Grant, & Kelly, 2003, p. 13).
Mayoritas peneliti cenderung mendefenisikan MB dengan memusatkan perhatian pada karakteristik
teknis termasuk digitality (presentasi
yang menampilkan angka), hypertextuality,
dispersal, virtuality, modularity, multimodality,
hybridity, interactivity, automation, and variability.
(Anderson & Balsamo, 2008; Lister et al., 2003; Manovich, 2001; Nichols, 2008; Pratt, 2000).
Beberapa peneliti mulai mengarahkan pada karakteristik sosial kultural dari MB.
Secara khusus ditujukan empat poin, (a) setiap medium memiliki bahasa yang unik; (b)
pesan-pesan media telah dikonstruksi; (c) media
sudah dilekatkan oleh nilai dan ideologi; dan (d) media
melayani berbagai tujuan. (Aufderheide
& Firestone, 1993;
Blau, 2004; Ito et al., 2008; Newby, Stepich, Lehman, & Russell, 2000; O’Reilly, 2005; Pink, 2005; Pungente,
Duncan, & Andersen,
2005). As suggested by Gee (2001), Jenkins (2006) and Lievrouw & Livingstone (2006).
Karakterististik-karakateristik sosial kultural lebih diutamakan daripada
isu-isu teknis dalam konteks era MB abad 21.
Lihat : Understanding New Media Literacy: An Explorative
Theoretical Framework (hal. 160) oleh Tzu-Bin Lin, Jen-Yi
Li, Feng Deng and Ling Lee
pada http://www.ifets.info/journals/16_4/13.pdf. Diunduh pada 10 Maret 2015). Makalah ini juga
membahas secara detail mengenai MB dari segi sosial kultural.
[6]
Literacy
berarti cara pemahaman atas sebuah teks. Orang yang ‘kram logika’ pada sebuah
teks mengalami kondisi illiteracy.
Literacy terbagi atas dua yakni versi klasik (tradisional) dan MB. Tzu-Bin Lin, Jen-Yi
Li, Feng Deng dan Ling Lee, memastikan bahwa versi klasik itu berkaitan
dengan ML. Awal dari media literacy
pada pertengahan abad 20 ketika Leavis & Thompson
(1933) mulai
mengajar mahasiswa tentang cara membedakan antara the high culture (kebudayaan tinggi) dan the popular culture (kebudayaan populer melalui pendidikan di UK (United Kingdom atau Inggris). Di
masa awal tersebut, malah dilakukan promosi kebudayaan tinggi untuk menghadapi kebudayaan populer di era media
cetak (Buckingham, 2003).
Di tahun 50-an, media literacy diperkenalkan
di Amerika Serikat dengan
penguatan dampak media massa seperti radio dan televisi pada kehidupan
sehari-hari maupun dalam (Schwarz, 2005).
Kecenderungan umum dari perkembangan literasi media sebagaimana halnya literasi
media baru adalah pentingnya literasi media dikembalikan pada agenda pendidikan
ketika teknologi media baru justru mengakibatkan kecemasan kolektif dalam
masyarakat. (Lin, 2010).
Pemunculan MB juga meningkat di berbagai negara. Ketertarikan pada literasi
media berbeda di berbagai negara Asia Timur China (termasuk
Hong Kong), Taiwan, Japan dan Korea di akhir
1990-an (Cheung, 2009) berasal dari tumbuhnya teknologi baru, internet, mengakibatkan fenomena cyber cafe
atau kafe internet. Kelahiran internet adalah tonggak dalam perkembangan
literasi media karena mengubah seluruh lansekap media dan memulai debat pada
pendekatan berbeda pada literasi media. (Gauntlett, 2011). Ini juga menjadi titik awal untuk mengajukan
kerangka kerja yang cocok untuk media konvensional seperti televisi, surat
kabar dan radio maupun MB seperti internet dan teknologi Web 2.0.
[7] UU ITE
Pasal 27 ayat 3 justru menjadi penghalang bagi kepentingan sosial kultural
tersebut. Ini terlihat pada kasus Muhammad Arsyad dan Fadli Rahim yang mendapat
pendampingan nonlitigasi dari Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan
Berekspresi (KPJKB atau KORANKIRI). Muhammad Arsyad dipidanakan oleh Kadir
Halid, yang di Pilwali Makassar 2013 menjadi Calon Wakil Walikota Makassar.
Fadli Rahim direpresi oleh kekuasaan asimetris dari Bupati Gowa, Ichsan Yasin
Limpo hingga divonis delapan bulan penjara di PN Gowa. Keduanya mengekspresikan
pendapatnya melalui status BBM dan percakapan grup Line.
[8]
Pemihakan kepada warga pinggiran atau masyarakat terkucil, sebagaimana yang
akan dilakukan dalam Konfrensi Warga Pinggiran oleh IDEC adalah cara penguatan
isu ideologis. Konfrensi dilakukan dalam tatap muka, tapi beberapa hal bisa
disampaikan ke netizen berupa link berita atau video juga opini berkaitan
dengan isu demikian.
[9]
Encyclopedia
of Communication Theory dari Sage Reference merinci bahwa teorisasi MB
sebenarnya sudah setua komunikasi itu sendiri, meski teorinya diformalkan di
tahun 1990-an. Akselerasi difusi The accelerated diffusion
of digital media from telecommunications and information technology sectors in the 1990s has led media and communication studies to be defined by new objects of investigation. New forms of media demand exploration in their own right at the same time as the remediation of traditional media becomes open to investigation.
Lihat : New Media Teory oleh David Holmes, http://www.sagepub.com/edwards/study/materials/reference/77593_10.2ref.pdf. Diakses pada 10 Maret 2015.
[10] Paradigma berasal dari abad pertengahan di Inggris, kata
serapan dari bahasa Latin pada tahun 1483 yaitu paradigma yang berarti
suatu model atau pola. Pada abad 15, dinyatakan berasal dari bahasa Latin
yakni paradeigma yang berarti contoh atau paradeiknunai, yang
berarti menunjukkan sisi lain. Deiknunai sendiri berarti
mempertunjukkan (Lihat : Microsoft®
Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation).
|
Bahasa Yunani mengurai paradeigma
dari para dan deiknumi yang berarti untuk "membandingkan",
"bersebelahan", dan melampaui (para) maupun memperlihatkan atau
mempertunjukkan (deiknumi). Penggunaan
pertama paradeigma, sebagaimana pada karya Plato, Timaus, mengartikan sebagai
pola atau model dari Demiurge (dewa) ketika menciptakan kosmos. Timaeus merupakan dialog Plato yang
ditulis 360 SM.
Thomas S. Kuhn (1922 - 1996),
filsuf dan sejarawan sains mengatakan dalam, The Structure of Scientific
Revolutions (1962), mengatakan sains tidak berkembang dari metode
ilmiah, menurutnya ada dua fase fundamental perkembangan sains. Pertama melalui
paradigma (kumpulan dari kepercayaan yang sudah diterima). Ketika fondasi
paradigma melemah dan teori baru maupun metode ilmiah menggantikannya, maka
selanjutnya menuju fase berikutnya, ketika itu penemuan ilmiah mendapatkan
tempatnya. Kuhn percaya perkembangan ilmiah berasal dari satu paradigma ke
paradigma lainnya yang tidak memiliki alasan logis. (Lihat
: Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008
Microsoft Corporation).
[11] Critical
sebagai kata sifat, seperti pada critical paradigm berarti sikap kritisme dan
ketidak-setujuan, berkaitan dengan penilaian kritik terhadap buku, film, seni,
dan sebagainya. Penilaian baik dan buruk terhadap sesuatu, juga bagian dari
sikap kritis. Lihat : http://www.merriam-webster.com/dictionary/critical Diakses pada 17.50 WITA, Jumat (13/03/2015).
[12]
Kellner berkonsentrasi pada pendidikan dan multikulralisme.
Makalah di atas sudah pernah dibahas pada
dan konvensi Philosophy of Education
Society di Toronto
1 April 200. Makalah di atas
diskusikan kembali pada Oktober 2000 konferensi PacBell/UCLA dalam konteks informational literacy juga pada pertemuan the California Association for the Philosophy of Education (CAPE) di
UCLA Amerika.
[13]
Multiple Literacies diarahkan pada tantangan
beragam dari MB dan teknologi. Ia masih peduli pada print literacy, yang tidak
sepenuhnya meninggalkan kertas dan cetakan. Baginya hal itu dapat
merekonstruksi pendidikan pada masyarakat multikultural yang sudah mengenal
teknologi tinggi dan maupun budaya global.
[14]
McLuhan (1911-1980) filsuf teori komunikasi dari Kanada dan intelektual
kenamaan. Medium is message (medium adalah pesan) adalah istilah yang paling
terkenal dari dirinya yang dimuat dalam Medium is Message : An Inventory of
Effect (1967) yang terjual jutaan kopi. Ia juga membahas istilah Global Village
(Desa Global). Ia juga mengatakan klise merupakan tindakan yang membius atau
memati-rasakan segala efek. Sikap klise
inilah yang kini menjangkiti mayoritas netizen.
[15]
Walter Jackson Ong (1912-2003) seorang Pendeta Jesuit dan Profesor Sastra
Inggris, sejarawan kultural dan agama, juga filsuf. Pusat perhatiannnya pada
transisi dari orality (budaya lisan) ke literasi yang berpengaruh pada budaya
dan kesadaran manusia. Di Indonesia sosok pendeta Jesuit yang terkenal yakni
Romo Mangun Wijaya maupun Frans Magnis Suseno. Keduanya juga didukung oleh
Kompas dalam menyampaikan gagasannya.
[16] John
Dewey (1859—1952) filsuf Amerika, aktivis terkemuka dalam gerakan Georgist, dan
reformis sosial. Ia mengatakan profesionalisasi pengajaran adalah layanan
sosial. Kalimat terkenal dari dirinya yakni, “Demokrasi dan satu yang paling
utama yakni etis idel kemanusiaan, bagi saya itu sinonim.”
[17]
Ivan Illich (1926 –2002), seorang filsuf Austria, pendeta Katholik Roma, dan
kritikus sosial yang keras pada budaya Barat. Dia terkenal dengan ide Masyarakat
tanpa Sekolah (Deschooling Society, 1971).
Ia juga memberikan solusi tentang apa yang akan terjadi setelah adanya
Masyarakat tanpa Sekolah, yang ditulisnya dalam After Schooling, What (1973). “Kita
dapat menghilangkan sekolah dan meniadakan sekolah dalam budaya.” Anehnya kini
dalam pendidikan berbasis non-kapitalis masih menggunalan istilah sekolah
seperti home schooling. Ia melawan
apa yang kini disebut sebagai pendidikan kapitalis, yang disebut sebagai pendidikan
pasar bebas. Pendidikan ala pasar bebas kini terjadi dalam bentuk BHMN dan BHP
pada universitas negeri.
[18]
Paulo Reglus Neves Freire (1921
–1997), pakar pendidikan Brazil dan filsuf. Ia
mengajukan suatu pedagogi yang membuat hubungan baru antara murid, guru, dan
sosial yang disebut Pedagogi Kritis. Ia mengajukan Pendidikan Kaum Tertindas (Pedagogy of the Oppresed, 1970) dan
istilah Budaya Bisu (Culture of Silence).
Freire percaya bahwa dalam sistem relasi
sosial dominan akan menciptakan pencitraan diri yang bisu, tertekan, dan
negatif pada mereka yang tertindas. Kondisi ini terjadi di Gowa dalam kasus
Fadli Rahim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar